BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, yang dewasa ini mulai lazim disebut Administrasi Publik, sudah demikian pesatnya. Di samping konsep – konsepnya yang makin implementatif dan tidak lagi dikaburkan dengan konsep manajemen, justru yang menonjol dewasa ini adalah tuntutan reformasi administrasi publik sehingga diharapkan tercipta pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat (pelayanan prima). Disebutkan makin implementatif karena mulai dimanfaatkannya secara sungguh – sungguh berbagai konsep manajemen modern, yang semula berhasil diterapkan dalam dunia swasta/bisnis, kemudian dimodifikasi untuk kepentingan administrasi publik.
Administrasi negara yang juga disebut dengan administrasi publik saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dengan mulai diimplementasikannya konsep-konsep manajemen modern dalam administrasi publik yang tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. Meski demikian, administrasi negara yang salah satu tugas utamanya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, dalam dalam tataran realitasnya masih jauh dari harapan. Masih sering kita mendengar keluhan masyarakat terkait dengan penyelenggaraan administrasi negara ditambah lagi dengan perilaku para birokrat yang tidak mencerminkan sebagai “abdi dari masyarakat” seperti lambat, berbelit – belit, tidak adil (pilih kasih) dan lain sebagainya. Oleh karena itu, harus segera dilakukan reformasi administrasi negara/reformasi birokrasi agar penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) segera terwujud di bumi Nusantara tercinta ini. Reformasi tersebut dapat dilakukan melalui Penataan kelembagaan, Penataan ketatalaksanaan/manajemen, Penataan sumber daya manusia/aparatur, Akuntabilitas dan memperbaiki penyelenggaraan Pelayanan umum dengan memberikan pelayanan prima dan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaiamana kajian perkembangan administrasi publik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Administrasi Negara
S. P. Siagian mendefinisikan Administrasi Negara sebagai keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dalam suatu Negara dalam usaha mencapai tujuan Negara. Soempono Djojowadono dalam Miftah Thoha mendefinisikan Administrasi Negara adalah bagian dari keseluruhan lembaga – lembaga dan badan – badan dalam pemerintahan negara sebagai bagian dari pemerintah eksekutif baik di pusat maupun di daerah yang yang tugas kegiatannya terutama melaksanakan kebijaksanaan pemerintah (public policy) untuk kepentingan masyarakat.
Administrasi Negara modern meliputi banyak kegiatan – kegiatan pemerintah atau negara, misalnya administrasi kepegawaian negara, administrasi keuangan negara, administrasi perkantoran pemerintah, administrasi perbekalan, administrasi perpajakan dan lain – lain.
B. Perkembangan Administrasi Negara
H. G. Frederickson membagi perkembangan administrasi negara hingga berkembangnya administrasi negara baru (sejak tahun 1980-an) dalam beberapa model sebagai berikut :
1. Model birokrasi klasik, tokohnya: Max weber, Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gullick, dan Llyndall Urwick.
2. Model birokrasi neo-klasik, tokohnya Herbert Simon, Richard M. Cyert, dan James G.A. March.
3. Model kelembagaan, tokohnya Charles E. Lindblom, James Thomson, frederick C. mosher, dan amitai Etzioni.
4. Model hubungan kemanusiaan, tokohnya Rinsis Likert, Daniel Katz, dan Robert kahn.
5. Model pilihan publik, tokohnya vincent Ostrom, Jame bahanan, dan gordon Tullock.
Model ke-5 (model pilihan publik) adalah ciri berkembangnya administrasi negara baru (New Public Management/NPM dan New Public Service/NPS) yang esensinya adalah :
1. Manajemennya efisien, ekonomis, dan terkoordinasi dalam bentuk instansi – instansi pelayanan publik.
2. Sasaran utamanya adalah keadilan sosial (social equity) yang berusaha mengatasi ketimpangan, perubahan menuju desentralisasi dan adanya partisipasi masyarakat.
C. Problematika Administrasi Negara
Pemerintahan dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hierarki yang lebih tinggi sampai hierarki yang terendah.
Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi kebijakan administrasi pemerintah, dan (v) sentralisasi. Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, tetapi pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Diantara penyelenggaraan administrasi negara yang sering menjadi keluhan publik di antaranya: a) Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; b) Mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis; c) Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain; d) Sulit dihubungi; dan e) Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata – kata “sedang diproses”.
Hal lain yang semakin memperburuk penyelenggaraan administrasi negara adalah prilaku beberapa birokrat yang menjadi patologis (penyakit) dalam pemerintahan, diantaranya sebagai berikut: a) Budaya feodalistik masih terasa; b) Kebiasaan menunggu petunjuk pengarahan; c) Loyalitas kepada individu bukan kepada tugas organisasi; d) Belum berorientasi pada prestasi; f) Keinginan untuk melayani masih rendah; g) Belum ditopang teknologi secara menyeluruh; h) Budaya ekonomi biaya tinggi; dan i) Jumlah pegawai negeri relatif banyak tetapi kurang bermutu dan asal jadi.
Identifikasi ini adalah sedikit dari banyak masalah dalam penyelenggaraan administrasi negara (birokrasi pemerintahan). Oleh karena itu, pembenahan sistem pelayanan aparatur sekarang ini harus menjadi prioritas, bagaimanapun pelayanan aparatur akan menentukan mati – hidupnya aktivitas publik, karena mereka harus melalui perizinan dan peraturan – peraturan pemerintahan. Pembenahan sistem yang dimaksud disini adalah adanya reformasi administrasi negara (reformasi Birokrasi). Dengan demikian reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan :
1. Penataan kelembagaan: a) visi, misi, strategi organisasi; b) struktur organisasi efektif, efisien, rasional, proporsional; c) pembagian tugas proporsional; dan d) mengatur jabatan struktural dan fungsional.
2. Penataan ketatalaksanaan/manajemen, meliputi: a) mekanisme/sistem kerja internal; b) prosedur kerja; c) hubungan kerja eksternal; d) perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian; e) pengelolaan sarana dan prasarana kerja; f) otomatisasi administrasi perkantoran; g) pemantauan teknologi informasi (E-gov); dan h) pengelolaan kearsipan yang handal.
3. Penataan sumber daya manusia/aparatur melalui: a) penerapan sistem merit dalam manajemen kepegawaian; b) sistem diklat yang efektif; c) standar dan peningkatan kerja; d) pola karier jelas dan terencana; e) standar kompetensi jabatan; f) klasifikasi jabatan; g) tugas, fungsi dan beban tugas proporsional; h) rekrutmen sesuai prosedur; i) penempatan pegawai sesuai keahlian; j) remunerasi memadai; dan k) perbaikan sistem informasi manajemen kepegawaian.
4. Akuntabilitas meliputi: a) perencanaan stratejik; b) perencanaan kinerja; c) pengukuran dan evaluasi kinerja; dan d) pelaporan kinerja.
5. Pelayanan umum meliputi: a) pelayanan prima; b) kualitas pelayanan, dan c) kepuasan pelanggan.
Dengan melakukan beberapa langkah diatas birokrasi diharapkan dapat melakukan perannya dengan optimal di masyarakat yaitu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat sehingga stigma birokrasi yang kurang baik yang selama ini diidentikkan dengan birokrasi dapat dihapus atau setidaknya dapat diminimalisir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan reformasi Administrasi Negara secara internal adalah efisiensi Administrasi Negara itu sendiri, meminimalisasi kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme/pilih kasih, lamban, berbelit – belit dan lainnya. Tujuan eksternalnya adalah demokratisasi, menyesuaikan sistem kerja antara sistem Administrasi Negara dan politik (misalnya dalam kerangka otonomi daerah), dan menyelaraskan sistem Administrasi Negara tidak dapat dilepaskan dari nilai budaya suatu negara atau wilayah dimana berlakunya reformasi tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa reformasi admnistrasi Negara merupakan gerakan untuk menjadikan Administrasi Negara sebagai instrument yang lebih baik dari waktu ke waktu dalam rangka mencapai tujuan pembangunan pada umumnya, khususnya tuntutan realisasi aspirasi masyarakat.
B. Saran
Perkembangan Administrasi Negara merupakan hal mendasar, karena harus sesuai dengan arah perkembangan lingkungan global yang semakin kompetitif dalam seluruh aspek, termasuk dalam tata kelola kepemerintahan. Peran administrasi publik harus sesuai dengan tuntunan zaman, tuntutan masyarakat, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi apabila organisasai ingin terus eksis dan survive.
Reformasi Administrasi Negara terjadi karena perubahan dan modernisasi Administrasi Negara (administrative change) tidak berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntutan keadaan, karenanya diperlukan usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi kelembagaan, sikap dan perilaku birokrat/aspek prilaku atau kinerja), meningkatkan efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan Administrasi Negara yang sehat dan terciptanya tujuan pembangunan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Gie, The Liang. 1983. Administrasi Perkantoran Modern. Nur Cahaya : Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Kencana : Jakarta.
Pasolong, Harbani. 2008. Teori Administrasi Publik. Alfabeta : Bandung.
Frederickson, H. G. 2003. Administrasi Negara Baru. LP3ES : Jakarta.
Siagian, S. P. 1996. Patologi Birokrasi. Bumi Aksara : Jakarta.
Syafiie, Inu Kencana. 2006. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI). Bumi Aksara : Jakarta.
Budiman, Arif. dan ph. Quarks Van ufford. 1998. Krisis Tersembunyi Dalam Pembangunan Birokrasi Di Negara Berkembang. Gramedia : Jakarta.
Selasa, 14 Desember 2010
Revolusi Administrasi Publik
Reformasi Administrasi Publik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Reformasi administrasi publik sebagai salah satu bidang kajian administrasi yang selalu menarik untuk dikritisi. Secara teoritis, lahirnya gejala ini sebagai akibat logis dari adanya kecenderungan pergeseran perkembangan ilmu administrasi publik yang beralih dari normative science ke pendekatan behavioral–ekologis. Secara empiris, gejala perkembangan masyarakat sebagai akibat dari adanya globalisasi, memaksa semua pihak, terutama birokrasi pemerintah melakukan revisi, perbaikan, dan mencari alternatif baru tentang sistem administrasi yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.
Begitu juga dengan adanya kebijakan otonomi daerah, yang otomatis masing-masing daerah harus pandai-pandai mencari setiap potensi dan peluang yang terdapat di daerahnya. Meskipun istilah’daya saing daerah’ seringkali digunakan dalam konteks ekonomi dan diartikan sebagai‘kemampuan bersaing, sehingga berkonotasi negatif. Kecenderungan lebih lanjut, pengambil kebijakan yang over protective dan keengganan bekerja sama (Abdullah, 2002). Namun reformasi administrasi juga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap para pelaku ekonomi (investor), baik dari daerah itu sendiri maupun investor nasional dalam rencana investasinya di dalam suatu daerah tertentu. Misalnya para pelaku ekonomi mungkin akan berinvestasi di daerah A saja karena administrasi pemerintah daerah tersebut cukup baik, dibandingkan apabila harus berinvestasi di daerah B, C, D, dan seterusnya disebabkan administrasi pemerintah daerahnya yang kurang menguntungkan, bahkan sangat amburadul yang boleh jadi akan menjadikan adanya high cost economic di kemudian hari.
Selain itu, daya saing daerah juga lebih banyak diartikan sebagai suatu potensi yang bersifat tunggal, sehingga dengan demikian tidak ada upaya pemahaman bagaimana kompleksitas faktor – faktor yang membentuk daya saing daerah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila didalam pembicaraan mengenai daya saing daerah, opini yang berkembang dapat menjadi sangat beragam dikarenakan masing – masing pihak, baik individu atau pun lembaga melihatnya dari perspektif atau factor yang berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Reformasi Administrasi: Pengertian dan Ruang Lingkup
Akhir – akhir ini tampak adanya pandangan yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah di beberapa negara dan daerah. Pandangan pertama, menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga dari ‘bencana’ banjir ekonomi maupun politik. Dengan dilengkapi militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah sebagai dewa penyelamat dan satu – satunya organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa didalam mengolah sumberdaya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan, sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Oleh karena itu, mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal, dalam pembangunan suatu negara maupun daerah. Pandangan kedua, menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Sering, bahkan hamper selalu, birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan jelek koordinasinya, menyeleweng, otokritik, bahkan sering bertindak korup. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan dan perilakunya kurang inovatif, serta tidak dinamis. Keadaan semacam ini akan menyebabkan birokrasi pemerintah mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Pandangan pertama, mungkin diilhami suatu pengharapan yang berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pandangan kedua mungkin merupakan pandangan yang berlebihan, yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan yang secara diametral bertentangan satu sama lain itu sama – sama didasarkan pada pengamatan yang mendalam, dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebih terhadap peran birokrasi dalam pambangunan sangatlah tidak adil. Selalu saja kalau terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan, birokrasi dipandang sebagai biang keladinya.
Kegagalan pembangunan, memang sebagian merupakan tanggung jawab birokrasi, namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara dan daerah, kekurangefisienan administrasi tidak dianggap sebagai ‘dosa besar’ terhadap ketidakmampuan pemerintah, baik daerah maupun pusat didalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan didalam rencana pembangunan. Penting diperhatikan, bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketidaksempurnaan administrasi ini tidak akan dipandang sebagai situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemrawutan administrasi ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada arah regional maupun arah nasional. Kondisinya dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi, membuat semuanya menjadi lebih parah.
Pada masa perubahan yang demikian gencar ini, lahir harapan masyarakat yang muluk-muluk, suatu harapan yang tak dijumpai dalam masyarakat maju. Perubahan sosial yang fundamental menyebabkan lahirnya tuntutan dan tekanan baru. Menjalarnya urbanisasi dan sekularisasi yang cepat, serta kebutuhan akan demokratisasi pemerintahan dan administrasi, menyebabkan beban aparatur pemerintah bertambah besar, dan mau tidak mau adpatabilitas menjadi sangat penting dan menjadi kebutuhan. Semua perubahan dan transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai yang tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga dikalangan masyarakat. Di kalangan intelektual, yang diharapkan mampu melakukan perbaikan terhadap kebobrokan birokrasi, malah mereka, utamanya yang konservatif, menjadi stigma birokrasi, sehingga sifat birokrasi yang elitis, terlalu menyenangi sikap otoriter dan kurang komunikasi dengan masyarakat semakin hari semakin parah keadaannya.
Dengan latar belakang dan kondisi demikian, maka kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi di negara sedang berkembang menjadi keharusan (condition sine quanon) dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata hanya karena kemampuan administratif dipandang semakin penting artinya bagi terlaksananya kebijaksanaan dan rencana pembangunan. Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usaha-usaha untuk mengatasi masalah lingkungan, perubahan struktural, dan institusi tradisional atau perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun kombinasi dari keduanya.
Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi yang beragam, menimbulkan banyak begitu harapan, tetapi juga membawa ‘pertengkaran’ yang tak kunjung usai di kalangan praktisi, pemerhati, masyarakat, dan kaum teoritisi. Apapun makna dan tujuan yang melekat atau yang dilekatkan pada istilah itu, senantiasa ada nilai positif yang diberikan kepadanya. Istilah ini semakin hari semakin ‘ngepop’ laksana mukjizat, dan ia dianggap sebagai mitos yang banyak mendatangkan berkah dan rezeki. Hampir tidak ada yang mengatakan bahwa reformasi administarsi itu jelek. Sebaliknya hampir semua orang mengatakan reformasi administrasi itu baik dan bermanfaat. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, maka akan mempunyai makna dan dampak yang positif maupun negatif, tergantung dari apa, siapa dan bagaimana pembaruan itu dilakukan. Hal ini sangat penting karena ada cara, strategi maupun bentuk reformasi administrasi, yang dalam perjalanan sejarah, terbukti tidak membawa berkah akan tetapi justru mendatangkan bencana bagi masyarakat. Seperti halnya dengan kebanyakan didalam ilmu sosial, konsep reformasi administrasi diartikan berbeda antara sarjana yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada takrif (definisi) yang dapat diterima secara umum. Caiden (1969: 43) menyatakan bahwa perbedaan pemakaian terhadap istilah ini telah menyebabkan kebingungan dan kesulitan baik didalam menentukan parameter dalam penelitian maupun didalam pengembangan teori.
Dewasa ini istilah reformasi administrasi digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas yang sebenarnya jauh melampaui makna yang dikandungnya. Sebagai implikasinya, maka setiap reformasi terhadap aparatur administrasi, baik pada arah lokal maupun arah nasional, dipandang sebagai perubahan terencana. Dror mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden (1969: 69) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’ . Definisi Caiden ini mengandung beberapa implikasi: Reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (1) (manmade), tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; Reformasi administrasi merupakan suatu proses; (2) Resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi. (3) Caiden juga dengan tegas membedakan antara administrative reform dan administrative change. perubahan administrasi bermakna sebagai respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi (Caiden, 1969: 57-58).
Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi (Caiden, 1969: 65). Takrif tentang reformasi administrasi dari Caiden ini dikritik Quah karena mengandung tiga kelemahan pokok, yaitu: (1) Definisi Caiden tidak mengidentifikasi tujuan reformasi administrasi. Dengan tidak jelasnya atau tidak adanya tujuan reformasi administrasi tersebut, maka Parroco (1970: 327) menyebut definisi tersebut sebagai picik dan tak komplit. Dengan kata lain makna definisi Caiden tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan: Reformasi Administrasi itu untuk apa ?; (2) Definisi Caiden tidak memadai, karena istilah administrative transformation merupakan konsepsi yang kabur dan tak member penjelasan tentang isi reformasi administrasi.
Dalam hubungan ini, Mosher (1965: 129) menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi administrasi, bahkan dia menyamakan antara keduanya. Apa yang hendak dikatakan Mosher bahwa reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang kebanyakan sarjana disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orang-orang yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering disebut sebagi aspek perilaku.
Dengan kata lain, isi reformasi administrasi meliputi aspek institusional atau kelembagaan dan aspek perilaku. (3) Definisi Caiden, asumsinya yang terlalu disederhanakan, bahwa resistensi mengikuti proses reformasi administrasi. Resistensi didalam reformasi administrasi muncul, menurut Caiden karena adanya ketidakpastian dan ketidakamanan individu dan/atau kelompok yang menginginkan kemapanan, kemandekan atau ststus quo. Mereka kemudian berusaha menentang reformasi agar terhindar dari ketidakpastian dan ketidakamanan. Asumsi inilah yang Quah dianggap salah. Sebab resistensi itu tidak harus ada didalam setiap usaha reformasi administrasi. Setiap usaha yang bertujuan mengubah system administrasi, baik (struktur kelembagaan) maupun perilaku administratornya agar lebih baik, dapat dikategorikan kedalam reformasi administrasi, terlepas apakah ia menjumpai resistensi atau tidak.
Dengan demikian, maka resistensi bukan merupakan ciri khas dari reformasi administrasi. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberatan Quah terhadap definisi Caiden, yaitu: Definisi tersebut tidak mengungkapkan tujuan reformasi administrasi; (1) Definisi tersebut tidak mendeskripsikan secara cermat isi maupun ruang (2) lingkup reformasi administrasi; Resistensi bukan ciri khas dari reformasi administrasi. (3) Sebenarnya tiga keberatan Quah terhadap definisi Caiden tersebut tidak sepenuhnya benar, khususnya keberatan pertama dan kedua tentang tujuan, isi dan ruang lingkup reformasi administrasi. Caiden secara tegas menyebut tujuan, isi dan ruang lingkup reformasi administrasi. Tujuan yang ingin dicapai seorang pembaru administrasi yang notabene juga merupakan tujuan reformasi administrasi untuk menyempurnakan kinerja individu, kelompok dan institusi. Disamping itu, reformasi administrasi bertujuan juga memberi saran tentang bagaimana caranya agar individu, kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat. Dengan rumusan lain Caiden menyebut tujuan reformasi administrasi adalah untuk . . . improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly (Caiden: 12). Jika dianalisis selanjutnya, tujuan reformasi administrasi Caiden adalah menyempurnakan atau meningkatkan performance .
Konsep inilah yang Caiden sebut administrative health, yaitu suatu situasi dimana administrasi tidak hanya mampu memenuhi segala macam tuntutan yang dibebankan kepadanya, namun juga administrasi yang didalamnya tak dijumpai gelagat yang tak baik (Caiden: 25). Sedangkan kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelompok, dan institusi. Ini berarti disamping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang tercakup didalam reformasi administrasi. Sehat tidaknya administrasi dapat dilihat dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: Ideal optimum, yakni derajat pencapaian kesempurnaan administrasi; (1) Practical optimum, yakni pencapaian derajat tertinggi dari suatu kinerja (2) dalam kondisi tertentu; Satisficing optimum, yakni pencapaian derajat kinerja yang memuaskan. (3) Sedangkan peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari keterampilannya, kecakapan, praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keluasan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebajikannya, kreativitasnya, moralitasnya dan lain – lain. Kinerja kelompok dilihat dari aspek kerja samanya, keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya, dan lain-lain. Sedangkan kinerja institusi dapat dilihat dari hubungannya dengan institusi lain, fleksibilitasnya, adaptabilitasnya, pemecahan konflik dan lain- lain.
Namun definisi di atas belum mencakup tujuan reformasi administrasi sebagai syarat kelengkapan definisi. Caiden menginterpretasikan terhadap tujuan reformasi administrasi, yaitu: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan dan program (1) pelaksanaan; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234), (2) Meningkatkan kualitas personel; (3) Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik dan keluhan pihak (4) luar (Mosher, 1967: 497-498). Tujuan pertama dan keempat lebih bernuansa politis. Sedangkan menurut Lee (1971: 52), tujuan umum reformasi administrasi itu meliputi meningkatkan keteraturan, menyempurnakan metode dan meningkatkan performance (kinerja). Abueva (1970: 25) mengelompokkan tujuan reformasi administrasi itu dalam dua kelompok, yaitu: Manifest or declared goal, seperti efisiensi, ekonomis, efektivitas, (1) peningkatan pelayanan, struktur organisasi, dan prosedur yang ramping dsb., Undisclosed or underclared goal, yang bersifat bertujuan politis. (2) Sedangkan Dror (1971: 23), melihat tujuan reformasi itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu kedalam enam kelompok, tiga bersifat intra-administrasi yang ditujukan menyempurnakan administrasi internal, meliputi: Efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya, yang dapat dicapat (1) melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; Penghapusan kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih, dan (2) sistem taman dalam sistem politik, dll.; Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemrosesan data melalui (3) sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dll. Sedang tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam system administrasi, meliputi: Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan system politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, (3) misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (desentralisasi).
Berdasarkan definisi yang mencakup tiga aspek tersebut, reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional); dan sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas 7 organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Reformasi administrasi menurut Dror (1971: 19), secara tegas mengesampingkan perubahan organisasi dan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada perubahan-perubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan efektip apabila juga didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan melibatkan lingkungan di mana reformasi itu dilaksanakan. Reformasi administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat (Caiden: 4), sebab birokrasi dan organisasi pemerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Dua hal lagi yang perlu dicatat dari observasi Caiden, bahwa: Reformasi administrasi berkaitan erat dengan lingkungan budaya tertentu, sehingga tidak ada satu perspektif pun yang dapat dianggap lebih baik daripada yang lain; Pendekatan reformasi administrasi bersifat terikat pada budaya, sehingga tidak dapat diekspor ke negara lain dengan begitu saja. Caiden juga menaruh perhatian terhadap negara berkembang, dengan pernyataan bahwa ‘kemerdekaan negara berkembang membuat reformasi administrasi menjadi semacam kewajiban’. Sebab negara yang merdeka harus membangun sistem administrasinya sendiri dan segera menemukan jalan keluar untuk memecahkan sejumlah besar masalah administrasi yang gawat. Menurut Caiden, reformasi administrasi diperlukan guna memecahkan masalah – masalah besar. Oleh karena itu, pendekatan yang harus dipilih, sangat tergantung pada beberapa faktor berikut: (a) Sifat kultur setempat; (b) Reputasi kepemimpinan nasional; (c) Jenis rezim politik; (d) Kekuatan dan diversitas oposisi; dan (e) Ketersediaan sumber daya.
Atas dasar berbagai macam faktor tersebut, maka Caiden mengklasifikasikan empat pendekatan reformasi administrasi di Negara berkembang, yaitu : Negara yang tidak menganut paham reformasi administrasi dan lebih (1) menyukai status quo ; Negara dengan pendekatan pragmatis murni terhadap reformasi (2) administrasi, artinya melakukan pembaruan dengan ala kadarnya saja, serta tidak ada perangkat institusional untuk mengimplementasikannya; Negara-negara yang sangat keranjingan terhadap reformasi administrasi (3) dan melengkapinya dengan seperangkat perabot formal untuk isian dan evaluasinya; Negara – negara yang telah mengalami pembaruan yang diperoleh dari luar.
B. Strategi Reformasi Administrasi
Reformasi administrasi berkaitan erat dengan pengertian strategi, karena hakikatnya reformasi administrasi sebagai aktivitas meningkatkan kemampuan memenangkan ‘peperangan’ melawan ketidakberesan administrasi dan beberapa jenis penyakit administrasi lain. Membahas strategi reformasi administrasi haruslah memperhatikan berbagai macam variabel pembaruan. Variabel – variabel pembaruan inilah yang akan menentukan jenis, ruang lingkup, dan kecepatan suatu usaha reformasi administrasi. Namun harus juga disadari bahwa didalam memanipulasikan berbagai macam variabel tersebut terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan yang tepat terhadap agen pembaruan, organisasi pembaruan, dan waktu pembaruan. Seluruh permasalahan strategi reformasi administrasi dapat diurai kedalam beberapa dimensi strategi, dimana penguraian itu mengejawantah kedalam beberapa pendekatan pokok. Pendekatan pokok ini di satu pihak masih memiliki kelemahan – kelemahan karena hanya menekankan aspek tertentu saja, namun di lain pihak memiliki kejelasan analitis. Karenanya, membandingkan kutub pendekatan ini hendaknya jangan diinterpretasikan ‘pendekatan yang satu lebih unggul dari yang lain, atau yang ini lebih unggul dari yang itu’, tetapi hendaknya diinterpretasikan pendekatan yang satu memiliki keunggulan dalam berbagai aspek, juga mempunyai kelemahan pada aspek yang lain.
Dikotomisasi Strategi Reformasi Administrasi Salah satu usaha untuk memperjelas beragam strategi administrasi reformasi adalah dengan melakukan dikotomisasi strategi. Dengan dikotomisasi itu diharapkan akan diperoleh kejelasan tentang perbedaan, ruang lingkup, kelemahan dan kekuatan masing – masing strategi tersebut. Pendekatan pokok dalam strategi reformasi administrasi yang dimaksud tiada lain adalah pendekatan makro versus mikro, pendekatan structural versus pendekatan perilaku, incremental versus inovatif, dan komprehensif versus parsial.
Pendekatan Makro vs Pendektan Mikro Di dalam kepustakaan reformasi administrasi masih terdapat pertentangan yang tak kunjung henti antara pendekatan makro dan mikro. Mereka yang sependapat dengan pendekatan mikro mengatakan bahwa sebagian negara sedang berkembang gagal didalam menerapkan pembaruan administratif secara komprehensif (makro) karena sebagian besar dari mereka belum memiliki persyaratan yang diperlukan. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa pembaruan yang bersifat parsial lebih 9 dapat diterapkan pada semua kondisi negara sedang berkembang. Selain itu, juga berpendapat bahwa pendekatan parsial ini mempunyai dampak terhadap pembaruan berikutnya. Dalam hal ini Albert Waterston mengatakan: ”. . .dengan memulai usaha pembaruan administrasi yang komprehensif, negara-negara berpendapatan rendah, seperti India, Pakistan, Iran, dan Filipina di Asia; Venezuela, Colombia, Equador, Brazilia, Argentina, dan Chili di Amerika Latin; Ethiopia, Ghana, dan Libya di Afrika; selama bertahun-tahun telah berusaha meningkatkan efisiensi pelayanan umum, namun memperoleh hasil kurang memadai semata karena mereka menerapkan pendekatan makro. Usulan global yang kelihatannya baik dan menarik, berakhir tragis setelah diimplementasikan”. Sebaliknya mereka yang setuju dengan pendekatan makro berpendapat bahwa kompleksitas dan ketergantungan faktor – faktor administratif memaksa diperlukannya pembaruan yang menyeluruh. Program yang bersifat menyeluruh ini harus dibuat untuk menanggulangi perkembangan yang terjadi dalam keseluruhan tubuh administrasi, serta memberi prinsip dan kerangka umum bagi pendekatan parsial atau piece-meal. Mereka juga mengatakan bahwa pendekatan parsial dapat mengakibatkan inkonsistensi, kontradiksi, dan konflik dalam system administrasi. Karenanya, maka para penganjur pembaruan administrasi menekankan perlunya gebrakan (break-through) yang hanya dapat dicapai melalui pendekatan makro. Pandangan ini antara lain diungkapkan Mukardji , ketika ia mengatakan: ”Pendekatan mikro cenderung tidak produktif, paling tidak untuk jangka pendek, karena hasil yang mengecewakan dapat menurunkan atau mengurangi jumlah pendukung. Kasus di India menunjukkan kebenaran pendapat ini, karena hanya pendekatan yang komprehensiflah yang memungkinkan dilakukannya gebrakan (break-through)”. Masing – masing pendekatan memiliki unsur kebenaran, bahwa para penganjur pendekatan mikro/parsial mengakui bahwa dalam kondisi sosial-ekonomi yang tepat pendekatan komprehensif terbukti lebih layak. Namun di lain pihak, pendekatan mikro dapat menjadi dasar perubahan di masa mendatang. Tetapi harus diingat jika melakukan penyempurnaan terhadap satu satuan organisasi, maka harus disadari bahwa tidak ada satu organisasi yang mampu berdiri sendiri dan berperan di dalam proses pembangunan daerah maupun nasional, karena berkaitan dengan organisasi, baik sebagai penghambat atau pun pendorong bagi reformasi administrasi. Sebaliknya penganjur pembaruan yang komprehensif harus menyadari bahwa semua rencana yang menyeluruh pasti terdiri dari ‘individual’ dan satuan dasar administrasi negara adalah ‘individual’.
Pendekatan Struktural vs Perilaku, Kelemahan utama pendekatan struktural adalah sifatnya yang statis dan kefanatikannya terhadap dogma status. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan, sebagian para ahli perilaku cenderung juga statis, karena sebagian dari mereka beranggapan bahwa ciri-ciri umum perilaku organisasi sulit dioperasionalisasikan. Pro dan kontra terhadap kegunaan pendekatan struktural dan perilaku masih beragam, meskipun tampaknya pendekatan struktural agak memperoleh pengakuan. Menurut Braibanti, bahwa ‘perubahan kelembagaan lebih efektif jika dibandingkan dengan manipulasi perilaku, yang berarti ada kecenderungan para strukturalis lebih memperhatikan aspek perilaku dalam administrasi pembangunan. Sedangkan kelemahan utama kaum behavioralis menurut Lucian Pye adalah kurangnya perhatian terhadap aspek struktural dalam pembaruan karena adanya kesulitan dalam menjelaskan persoalan tentang bagaimana individu harus menyesuaikan perilakunya ketika ia menyatu atau bertindak dalam suatu lembaga yang sudah mapan dan persoalan mengubah suatu lembaga dengan segera. Ketidakefektifan pendekatan behavioral dalam pembaruan administrasi sebagian besar bersumber dari besarnya organisasi pemerintahan dan besarnya problema penyempurnaan administrasi yang ada. Pendekatan perilaku cenderung memfokuskan perhatiannya pada individu dan kelompok kecil (small group), dan karenanya biasanya kurang memfokuskan pada organisasi secara keseluruhan. Atas dasar itulah, maka pendekatan perilaku sering diberi predikat mikro.
Dalam banyak hal memang pendekatan makro sering diperlukan, khususnya di negara sedang berkembang. Namun, sebagaimana diketahui bahwa perangkat administrasi, baik yang lunak maupun yang keras di negara sedang berkembang, masih kurang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Para strukturalis pada umumnya mau menerima pendekatan mikro hanya dalam hal-hal tertentu saja. Mereka selalu melihat organisasi secara keseluruhan, kaitannya dengan organisasi lain, baik organisasi induk, sesama organisasi maupun organisasi di bawahnya. Para strukturalis juga menyadari akan keterbatasannya, sehingga mereka memperhatikan pula dimensi perilaku. Mereka sadar bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pendekatan ini bersifat sangat terbatas apabila tidak dibarengi dengan usaha-usaha mempengaruhi perilaku anggota dan atau kelompok yang ada di dalam organisasi pemerintah.
Selanjutnya diakui pula, pendekatan ini bahwa organisasi pemerintah, pelaksanaan pemerintahan, dan perubahan yang terjadi dalam tubuh pemerintah, tak bisa lepas dari pengaruh lingkungan yang berada di sekitarnya. Fokus analisis strategi reformasi administrasi sangat beragam, tergantung ruang lingkupnya. Fokus strategi yang komprehensif adalah pada keseluruhan perangkat administrasi pemerintah daerah, bukan pada satu instansi khusus maupun pada satu prosedur tertentu. Perubahan atau inovasi yang dilakukan pada seluruh jajaran birokrasi pemerintah, bukan per bagian saja. Karenanya harus didasarkan pada pertimbangan yang masak dengan memperhatikan faktor waktu, personel, dan keuangan. Konsekuensinya, reformasi administrasi komfrehensif hanya dilakukan secara berkala saja. Menurut Zauhar (1994:84), pendekatan ini kurang cocok untuk kebanyakan negara berkembang yang masih kekurangan sumber daya, terutama manusia. Oleh karena itu, pendekatan mikro tampaknya sebagai pendekatan yang lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang, yang menerapkan pendekatan piece-meal or island approach, dalam skala ukuran yang spesifik dengan dua alasan utama, yaitu:Pertama, pendekatan inkremental meruapakan pendekatan yang gradual dan memungkinkan dilakukan eksprimen, sehingga masih dimungkinkan dilakukan revisi apabila rencana yang diusulkan belum memuaskan secara keseluruhan; Kedua, ketika reformasi dimulai, karena ruang lingkupnya yang sangat terbatas, sedikit sekali campur tangan dari pihak luar. Kelemahan pendekatan inkremental/mikro ini, tak akan dapat hidup lebih lama apabila tidak mendapat dukungan dari para pemimpin politik di daerah. Tidak seperti halnya dengan pendekatan komprehensif yang sesuai dengan selera pemimpin politik, pendekatan mikro biasanya kurang mendapat dukungan dari pemimpin politik karena terbatasnya tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, antara pendekatan komprehensif dan inkremental perlu tidak perlu dikontradiktifkan, bahkan keduanya harus saling melengkapi. Lee melukiskan keterkaitan antara kedua pendekatan ini sebagai dialectical continuum of reform strategy.
Dengan memperhatikan pendekatan mikro dan makro yang ada dalam reformasi administrasi, kuat dan lemahnya kepemimpinan politik, serta tepat tidaknya waktu pembaruan, Lee membuat matrix of optimum reform strategy, yang terdiri dari dua dimensi, yaitu: (1) kepemimpinan (kuat dan lemah); dan (2) waktu (tepat dan tidak tepat). Kotak pertama, dalam situasi apabila kepemimpinan kuat (cakap) dan waktu menguntungkan, maka strategi pendekatan yang lebih cocok adalah komprehensif. Kotak kedua, dimana waktu menguntungkan/tepat dan kepemimpinan lemah (tidak cakap), maka diperlukan strategi pendekatan mikro. Prakarsa melakukan reformasi biasanya berasal dari pimpinan nasional, maka usaha yang perlu dilakukan secara khusus adalah pengembangan kelompok pemimpin yang potensial, sehingga pada saatnya nanti mereka akan tampil. Sedangkan kotak ketiga , dalam situasi dimana waktu tidak menguntungkan, namun kepemimpinan cakap, maka diperlukan strategi pendekatan mikro. Biasanya usaha pembaruan berasal dari tubuh birokrasi sendiri.
Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah sikap hati-hati dalam melakukan reformasi, sebab reformasi yang diintroduksi akan banyak mengalami penolakan karena situasi sosial politik yang tidak menguntungkan. Kotak keempat, dalam situasi dimana waktu tidak menguntungkan dan kepemimpinan tidak cakap, maka tidak ada strategi alternatif atau dapat dilakukan pendekatan percobaan yang berskala kecil, yang bertujuan untuk melakukan identifikasi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan demikian, keberhasilan reformasi administrasi dalam usaha membangun daya saing daerah sangat tergantung pada, antara lain: (1) Dukungan dan komitmen dari pemimpin politik; (2) Adanya agen (inti) pembaru; (3) Adanya lingkungan sosial ekonomi dan politis yang kondusif; (4) Waktu yang tepat. Strategi yang berkenaan dengan sifat dan ruang lingkup pembaruan administratif haruslah dirancang melalui kerja sama yang harmonis antara pemimpin politik dan para pembaru, dimana mereka berdua harus memperhatikan faktor lingkungan yang ada. Sifat dan ruang lingkup reformasi administrasi juga tergantung pada tersedianya sumber daya, baik dana maupun tenaga (SDM). Karena pada umumnya daerah berkembang kekurangan dana maupun tenaga sehingga akan mengalami banyak kesulitan jika menerapkan pendekatan makro atau komprehensif. Dengan demikian, maka pendekatan mikro atau incremental akan lebih cocok bagi daerah – daerah di Indoensia. Dasar pemikirannya disini adalah bahwa setiap keputusan utama sebenarnya mencakup ‘perubahan inkremental’ untuk menanggulangi ‘penyakit khusus’. Strategi inkremental cocok dengan definisi reformasi administrasi sebagai suatu proses. Sebagai suatu proses reformasi administrasi selalu merupakan ‘langkah tunggal’, tetapi langkah tunggal yang dipandang dalam kaitannya dengan langkah tunggal yang lain, sehingga membentuk suatu jaringan ‘cincin langkah berikutnya’ yang akhirnya terbentuk suatu inovasi dan pembaruan administrasi yang besar.
Tetapi harus menyadari akan keterbatasan pendekatan inkremental. Karena sekecil apapun suatu usaha pembaruan, suatu saat pasti sampai pada ambang pintu politik, yang pasti memerlukan pendukung politik yang cukup besar. Keadaan semacam ini secara alami sangat sulit bagi suatu ‘proyek kecil’ seperti yang dianjurkan pendekatan inkremental. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah memilih proyek mikro yang jadi prioritas utama dan memiliki efek ganda dalam rencana pembangunan daerah. Argumen di atas menyarankan adanya suatu kontinum dialektis dalam strategi reformasi administrasi. Implikasi dari argumentasi itu bahwa strategi inkremental harus tumbuh lebih luas, sedangkan strategi komprehensif harus dikonsentrasikan pada hal-hal yang bersifat sementara (ad hoc) didalam implementasinya. Debat ini menghasilkan matriks strategi yang disederhanakan seperti yang dikemukakan Lee. Tetapi harus diingat bahwa tujuan matriks dari Lee tersebut hanyalah bersifat heuristic (keperluan ilmiah). Para pemimpin politik dan badan – badan yang ada hubungan dengan pembaruan, harus memperhitungkan faktor lingkungan. Keputusan merekalah yang akan menentukan strategi apa yang akan dipakai dalam situasi tertentu. Tujuan reformasi administrasi tiada lain adalah menyempurnakan kinerja (performance) dari birokrasi, baik dalam formulasi maupun implementasi rencana sektor tertentu dalam masyarakat. Proses pembaruan pada dasarnya juga merupakan redistribusi kekuasaan (power) didalam birokrasi. Mengapa pembaruan sulit dilakukan, dapat dijelaskan dengan mengacu pada adanya perubahan kebijaksanaan dan perubahan alokasi sumber daya yang dibutuhkan. Misalnya budget regional. Dilihat dari sudut politik, budget regional tidak lebih dari sekedar distribusi sumber daya keuangan dari suatu daerah, dan perubahannya dibuat sekali setahun.
Ada dua pokok yang membedakan pembaruan administrasi dengan perubahan anggaran, yakni: (1) Dalam perubahan anggaran terdapat proses institusionalisasi, yaitu proses mengubah anggaran, setelah anggaran berlangsung beberapa bulan, sedangkan didalam pembaruan administrasi tidak terdapat institusionalisasi. (2) Sebagian besar anggaran bersifat historis dan karenanya hanya mewakili perubahan inkremental. Tidak seperti halnya dengan perubahan kebijaksanaan ekonomi, reformasi administrasi mencakup perubahan yang menyusup ke seluruh jaringan birokrasi. Sebab birokrasi daerah dianggap sebagai satu kesatuan, sebagai PNS yang terintegrasi. Kebijaksanaan terpisah badan yang berbeda, tampaknya tidak dapat dipertahankan. Keadaan semacam inilah yang mengusik benak para teknokrat ekonom dalam pemerintahan, mengapa mereka gampang dipengaruhi. Kebijaksanaan ekonomi umumnya mempunyai ciri tersendiri (discrete), artinya berlaku khusus untuk satu sector atau sektor yang lain dalam ekonomi dan seringkali hanya mencakup satu bagian atau satu badan saja.
Jika asumsi ini dipakai dasar pembaruan, maka reformasi administrasi akan menjadi lebih elusif (kabur) sebagai variabel kultural. Akhirnya, kesulitan yang akan dihadapi dalam proses reformasi administrasi bahwa proses ini langsung mempengaruhi mereka yang melaksanakan kebijaksanaan, namun manfaatnya tidak dapat segera dinikmati. Hal ini tidak seperti kebijaksanaan pertanian, atau kebijaksanaan kesehatan yang langsung kentara manfaatnya (manfaatnya segera dapat dinikmati). Ringkasnya, pembaruan administrasi tidak menambah yang sudah ada, tetapi hanya merelokasikan sumber daya yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Piter, dkk. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indoensia, Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta.
Bartlett, C. And S. Goshal. 1987. Managing Across Borders: New Strategic Requirements, Sloan Management Review, Summer.
Caiden, G. E. 1968. Prospects for Administrative Reform in Israel, Public Administration.
Dror, Y. 1971. Strategies for Administrative Reform, Development and Change, The Hague, Netherland.
Lee, Hahn Been. 1971. Bureaucratic Model and Administrative Reform, Development and Change, The Hague, Netherland.
Zauhar, Soesilo. 2002. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi, dan Strategi, Cetakan Kedua, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Reformasi administrasi publik sebagai salah satu bidang kajian administrasi yang selalu menarik untuk dikritisi. Secara teoritis, lahirnya gejala ini sebagai akibat logis dari adanya kecenderungan pergeseran perkembangan ilmu administrasi publik yang beralih dari normative science ke pendekatan behavioral–ekologis. Secara empiris, gejala perkembangan masyarakat sebagai akibat dari adanya globalisasi, memaksa semua pihak, terutama birokrasi pemerintah melakukan revisi, perbaikan, dan mencari alternatif baru tentang sistem administrasi yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.
Begitu juga dengan adanya kebijakan otonomi daerah, yang otomatis masing-masing daerah harus pandai-pandai mencari setiap potensi dan peluang yang terdapat di daerahnya. Meskipun istilah’daya saing daerah’ seringkali digunakan dalam konteks ekonomi dan diartikan sebagai‘kemampuan bersaing, sehingga berkonotasi negatif. Kecenderungan lebih lanjut, pengambil kebijakan yang over protective dan keengganan bekerja sama (Abdullah, 2002). Namun reformasi administrasi juga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap para pelaku ekonomi (investor), baik dari daerah itu sendiri maupun investor nasional dalam rencana investasinya di dalam suatu daerah tertentu. Misalnya para pelaku ekonomi mungkin akan berinvestasi di daerah A saja karena administrasi pemerintah daerah tersebut cukup baik, dibandingkan apabila harus berinvestasi di daerah B, C, D, dan seterusnya disebabkan administrasi pemerintah daerahnya yang kurang menguntungkan, bahkan sangat amburadul yang boleh jadi akan menjadikan adanya high cost economic di kemudian hari.
Selain itu, daya saing daerah juga lebih banyak diartikan sebagai suatu potensi yang bersifat tunggal, sehingga dengan demikian tidak ada upaya pemahaman bagaimana kompleksitas faktor – faktor yang membentuk daya saing daerah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila didalam pembicaraan mengenai daya saing daerah, opini yang berkembang dapat menjadi sangat beragam dikarenakan masing – masing pihak, baik individu atau pun lembaga melihatnya dari perspektif atau factor yang berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Reformasi Administrasi: Pengertian dan Ruang Lingkup
Akhir – akhir ini tampak adanya pandangan yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah di beberapa negara dan daerah. Pandangan pertama, menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga dari ‘bencana’ banjir ekonomi maupun politik. Dengan dilengkapi militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah sebagai dewa penyelamat dan satu – satunya organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa didalam mengolah sumberdaya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan, sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Oleh karena itu, mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal, dalam pembangunan suatu negara maupun daerah. Pandangan kedua, menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Sering, bahkan hamper selalu, birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan jelek koordinasinya, menyeleweng, otokritik, bahkan sering bertindak korup. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan dan perilakunya kurang inovatif, serta tidak dinamis. Keadaan semacam ini akan menyebabkan birokrasi pemerintah mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Pandangan pertama, mungkin diilhami suatu pengharapan yang berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pandangan kedua mungkin merupakan pandangan yang berlebihan, yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan yang secara diametral bertentangan satu sama lain itu sama – sama didasarkan pada pengamatan yang mendalam, dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebih terhadap peran birokrasi dalam pambangunan sangatlah tidak adil. Selalu saja kalau terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan, birokrasi dipandang sebagai biang keladinya.
Kegagalan pembangunan, memang sebagian merupakan tanggung jawab birokrasi, namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara dan daerah, kekurangefisienan administrasi tidak dianggap sebagai ‘dosa besar’ terhadap ketidakmampuan pemerintah, baik daerah maupun pusat didalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan didalam rencana pembangunan. Penting diperhatikan, bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketidaksempurnaan administrasi ini tidak akan dipandang sebagai situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemrawutan administrasi ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada arah regional maupun arah nasional. Kondisinya dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi, membuat semuanya menjadi lebih parah.
Pada masa perubahan yang demikian gencar ini, lahir harapan masyarakat yang muluk-muluk, suatu harapan yang tak dijumpai dalam masyarakat maju. Perubahan sosial yang fundamental menyebabkan lahirnya tuntutan dan tekanan baru. Menjalarnya urbanisasi dan sekularisasi yang cepat, serta kebutuhan akan demokratisasi pemerintahan dan administrasi, menyebabkan beban aparatur pemerintah bertambah besar, dan mau tidak mau adpatabilitas menjadi sangat penting dan menjadi kebutuhan. Semua perubahan dan transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai yang tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga dikalangan masyarakat. Di kalangan intelektual, yang diharapkan mampu melakukan perbaikan terhadap kebobrokan birokrasi, malah mereka, utamanya yang konservatif, menjadi stigma birokrasi, sehingga sifat birokrasi yang elitis, terlalu menyenangi sikap otoriter dan kurang komunikasi dengan masyarakat semakin hari semakin parah keadaannya.
Dengan latar belakang dan kondisi demikian, maka kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi di negara sedang berkembang menjadi keharusan (condition sine quanon) dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata hanya karena kemampuan administratif dipandang semakin penting artinya bagi terlaksananya kebijaksanaan dan rencana pembangunan. Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usaha-usaha untuk mengatasi masalah lingkungan, perubahan struktural, dan institusi tradisional atau perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun kombinasi dari keduanya.
Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi yang beragam, menimbulkan banyak begitu harapan, tetapi juga membawa ‘pertengkaran’ yang tak kunjung usai di kalangan praktisi, pemerhati, masyarakat, dan kaum teoritisi. Apapun makna dan tujuan yang melekat atau yang dilekatkan pada istilah itu, senantiasa ada nilai positif yang diberikan kepadanya. Istilah ini semakin hari semakin ‘ngepop’ laksana mukjizat, dan ia dianggap sebagai mitos yang banyak mendatangkan berkah dan rezeki. Hampir tidak ada yang mengatakan bahwa reformasi administarsi itu jelek. Sebaliknya hampir semua orang mengatakan reformasi administrasi itu baik dan bermanfaat. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, maka akan mempunyai makna dan dampak yang positif maupun negatif, tergantung dari apa, siapa dan bagaimana pembaruan itu dilakukan. Hal ini sangat penting karena ada cara, strategi maupun bentuk reformasi administrasi, yang dalam perjalanan sejarah, terbukti tidak membawa berkah akan tetapi justru mendatangkan bencana bagi masyarakat. Seperti halnya dengan kebanyakan didalam ilmu sosial, konsep reformasi administrasi diartikan berbeda antara sarjana yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada takrif (definisi) yang dapat diterima secara umum. Caiden (1969: 43) menyatakan bahwa perbedaan pemakaian terhadap istilah ini telah menyebabkan kebingungan dan kesulitan baik didalam menentukan parameter dalam penelitian maupun didalam pengembangan teori.
Dewasa ini istilah reformasi administrasi digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas yang sebenarnya jauh melampaui makna yang dikandungnya. Sebagai implikasinya, maka setiap reformasi terhadap aparatur administrasi, baik pada arah lokal maupun arah nasional, dipandang sebagai perubahan terencana. Dror mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden (1969: 69) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’ . Definisi Caiden ini mengandung beberapa implikasi: Reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (1) (manmade), tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; Reformasi administrasi merupakan suatu proses; (2) Resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi. (3) Caiden juga dengan tegas membedakan antara administrative reform dan administrative change. perubahan administrasi bermakna sebagai respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi (Caiden, 1969: 57-58).
Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi (Caiden, 1969: 65). Takrif tentang reformasi administrasi dari Caiden ini dikritik Quah karena mengandung tiga kelemahan pokok, yaitu: (1) Definisi Caiden tidak mengidentifikasi tujuan reformasi administrasi. Dengan tidak jelasnya atau tidak adanya tujuan reformasi administrasi tersebut, maka Parroco (1970: 327) menyebut definisi tersebut sebagai picik dan tak komplit. Dengan kata lain makna definisi Caiden tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan: Reformasi Administrasi itu untuk apa ?; (2) Definisi Caiden tidak memadai, karena istilah administrative transformation merupakan konsepsi yang kabur dan tak member penjelasan tentang isi reformasi administrasi.
Dalam hubungan ini, Mosher (1965: 129) menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi administrasi, bahkan dia menyamakan antara keduanya. Apa yang hendak dikatakan Mosher bahwa reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang kebanyakan sarjana disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orang-orang yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering disebut sebagi aspek perilaku.
Dengan kata lain, isi reformasi administrasi meliputi aspek institusional atau kelembagaan dan aspek perilaku. (3) Definisi Caiden, asumsinya yang terlalu disederhanakan, bahwa resistensi mengikuti proses reformasi administrasi. Resistensi didalam reformasi administrasi muncul, menurut Caiden karena adanya ketidakpastian dan ketidakamanan individu dan/atau kelompok yang menginginkan kemapanan, kemandekan atau ststus quo. Mereka kemudian berusaha menentang reformasi agar terhindar dari ketidakpastian dan ketidakamanan. Asumsi inilah yang Quah dianggap salah. Sebab resistensi itu tidak harus ada didalam setiap usaha reformasi administrasi. Setiap usaha yang bertujuan mengubah system administrasi, baik (struktur kelembagaan) maupun perilaku administratornya agar lebih baik, dapat dikategorikan kedalam reformasi administrasi, terlepas apakah ia menjumpai resistensi atau tidak.
Dengan demikian, maka resistensi bukan merupakan ciri khas dari reformasi administrasi. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberatan Quah terhadap definisi Caiden, yaitu: Definisi tersebut tidak mengungkapkan tujuan reformasi administrasi; (1) Definisi tersebut tidak mendeskripsikan secara cermat isi maupun ruang (2) lingkup reformasi administrasi; Resistensi bukan ciri khas dari reformasi administrasi. (3) Sebenarnya tiga keberatan Quah terhadap definisi Caiden tersebut tidak sepenuhnya benar, khususnya keberatan pertama dan kedua tentang tujuan, isi dan ruang lingkup reformasi administrasi. Caiden secara tegas menyebut tujuan, isi dan ruang lingkup reformasi administrasi. Tujuan yang ingin dicapai seorang pembaru administrasi yang notabene juga merupakan tujuan reformasi administrasi untuk menyempurnakan kinerja individu, kelompok dan institusi. Disamping itu, reformasi administrasi bertujuan juga memberi saran tentang bagaimana caranya agar individu, kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat. Dengan rumusan lain Caiden menyebut tujuan reformasi administrasi adalah untuk . . . improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly (Caiden: 12). Jika dianalisis selanjutnya, tujuan reformasi administrasi Caiden adalah menyempurnakan atau meningkatkan performance .
Konsep inilah yang Caiden sebut administrative health, yaitu suatu situasi dimana administrasi tidak hanya mampu memenuhi segala macam tuntutan yang dibebankan kepadanya, namun juga administrasi yang didalamnya tak dijumpai gelagat yang tak baik (Caiden: 25). Sedangkan kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelompok, dan institusi. Ini berarti disamping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang tercakup didalam reformasi administrasi. Sehat tidaknya administrasi dapat dilihat dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: Ideal optimum, yakni derajat pencapaian kesempurnaan administrasi; (1) Practical optimum, yakni pencapaian derajat tertinggi dari suatu kinerja (2) dalam kondisi tertentu; Satisficing optimum, yakni pencapaian derajat kinerja yang memuaskan. (3) Sedangkan peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari keterampilannya, kecakapan, praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keluasan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebajikannya, kreativitasnya, moralitasnya dan lain – lain. Kinerja kelompok dilihat dari aspek kerja samanya, keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya, dan lain-lain. Sedangkan kinerja institusi dapat dilihat dari hubungannya dengan institusi lain, fleksibilitasnya, adaptabilitasnya, pemecahan konflik dan lain- lain.
Namun definisi di atas belum mencakup tujuan reformasi administrasi sebagai syarat kelengkapan definisi. Caiden menginterpretasikan terhadap tujuan reformasi administrasi, yaitu: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan dan program (1) pelaksanaan; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234), (2) Meningkatkan kualitas personel; (3) Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik dan keluhan pihak (4) luar (Mosher, 1967: 497-498). Tujuan pertama dan keempat lebih bernuansa politis. Sedangkan menurut Lee (1971: 52), tujuan umum reformasi administrasi itu meliputi meningkatkan keteraturan, menyempurnakan metode dan meningkatkan performance (kinerja). Abueva (1970: 25) mengelompokkan tujuan reformasi administrasi itu dalam dua kelompok, yaitu: Manifest or declared goal, seperti efisiensi, ekonomis, efektivitas, (1) peningkatan pelayanan, struktur organisasi, dan prosedur yang ramping dsb., Undisclosed or underclared goal, yang bersifat bertujuan politis. (2) Sedangkan Dror (1971: 23), melihat tujuan reformasi itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu kedalam enam kelompok, tiga bersifat intra-administrasi yang ditujukan menyempurnakan administrasi internal, meliputi: Efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya, yang dapat dicapat (1) melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; Penghapusan kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih, dan (2) sistem taman dalam sistem politik, dll.; Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemrosesan data melalui (3) sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dll. Sedang tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam system administrasi, meliputi: Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan system politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, (3) misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (desentralisasi).
Berdasarkan definisi yang mencakup tiga aspek tersebut, reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional); dan sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas 7 organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Reformasi administrasi menurut Dror (1971: 19), secara tegas mengesampingkan perubahan organisasi dan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada perubahan-perubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan efektip apabila juga didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan melibatkan lingkungan di mana reformasi itu dilaksanakan. Reformasi administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat (Caiden: 4), sebab birokrasi dan organisasi pemerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Dua hal lagi yang perlu dicatat dari observasi Caiden, bahwa: Reformasi administrasi berkaitan erat dengan lingkungan budaya tertentu, sehingga tidak ada satu perspektif pun yang dapat dianggap lebih baik daripada yang lain; Pendekatan reformasi administrasi bersifat terikat pada budaya, sehingga tidak dapat diekspor ke negara lain dengan begitu saja. Caiden juga menaruh perhatian terhadap negara berkembang, dengan pernyataan bahwa ‘kemerdekaan negara berkembang membuat reformasi administrasi menjadi semacam kewajiban’. Sebab negara yang merdeka harus membangun sistem administrasinya sendiri dan segera menemukan jalan keluar untuk memecahkan sejumlah besar masalah administrasi yang gawat. Menurut Caiden, reformasi administrasi diperlukan guna memecahkan masalah – masalah besar. Oleh karena itu, pendekatan yang harus dipilih, sangat tergantung pada beberapa faktor berikut: (a) Sifat kultur setempat; (b) Reputasi kepemimpinan nasional; (c) Jenis rezim politik; (d) Kekuatan dan diversitas oposisi; dan (e) Ketersediaan sumber daya.
Atas dasar berbagai macam faktor tersebut, maka Caiden mengklasifikasikan empat pendekatan reformasi administrasi di Negara berkembang, yaitu : Negara yang tidak menganut paham reformasi administrasi dan lebih (1) menyukai status quo ; Negara dengan pendekatan pragmatis murni terhadap reformasi (2) administrasi, artinya melakukan pembaruan dengan ala kadarnya saja, serta tidak ada perangkat institusional untuk mengimplementasikannya; Negara-negara yang sangat keranjingan terhadap reformasi administrasi (3) dan melengkapinya dengan seperangkat perabot formal untuk isian dan evaluasinya; Negara – negara yang telah mengalami pembaruan yang diperoleh dari luar.
B. Strategi Reformasi Administrasi
Reformasi administrasi berkaitan erat dengan pengertian strategi, karena hakikatnya reformasi administrasi sebagai aktivitas meningkatkan kemampuan memenangkan ‘peperangan’ melawan ketidakberesan administrasi dan beberapa jenis penyakit administrasi lain. Membahas strategi reformasi administrasi haruslah memperhatikan berbagai macam variabel pembaruan. Variabel – variabel pembaruan inilah yang akan menentukan jenis, ruang lingkup, dan kecepatan suatu usaha reformasi administrasi. Namun harus juga disadari bahwa didalam memanipulasikan berbagai macam variabel tersebut terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan yang tepat terhadap agen pembaruan, organisasi pembaruan, dan waktu pembaruan. Seluruh permasalahan strategi reformasi administrasi dapat diurai kedalam beberapa dimensi strategi, dimana penguraian itu mengejawantah kedalam beberapa pendekatan pokok. Pendekatan pokok ini di satu pihak masih memiliki kelemahan – kelemahan karena hanya menekankan aspek tertentu saja, namun di lain pihak memiliki kejelasan analitis. Karenanya, membandingkan kutub pendekatan ini hendaknya jangan diinterpretasikan ‘pendekatan yang satu lebih unggul dari yang lain, atau yang ini lebih unggul dari yang itu’, tetapi hendaknya diinterpretasikan pendekatan yang satu memiliki keunggulan dalam berbagai aspek, juga mempunyai kelemahan pada aspek yang lain.
Dikotomisasi Strategi Reformasi Administrasi Salah satu usaha untuk memperjelas beragam strategi administrasi reformasi adalah dengan melakukan dikotomisasi strategi. Dengan dikotomisasi itu diharapkan akan diperoleh kejelasan tentang perbedaan, ruang lingkup, kelemahan dan kekuatan masing – masing strategi tersebut. Pendekatan pokok dalam strategi reformasi administrasi yang dimaksud tiada lain adalah pendekatan makro versus mikro, pendekatan structural versus pendekatan perilaku, incremental versus inovatif, dan komprehensif versus parsial.
Pendekatan Makro vs Pendektan Mikro Di dalam kepustakaan reformasi administrasi masih terdapat pertentangan yang tak kunjung henti antara pendekatan makro dan mikro. Mereka yang sependapat dengan pendekatan mikro mengatakan bahwa sebagian negara sedang berkembang gagal didalam menerapkan pembaruan administratif secara komprehensif (makro) karena sebagian besar dari mereka belum memiliki persyaratan yang diperlukan. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa pembaruan yang bersifat parsial lebih 9 dapat diterapkan pada semua kondisi negara sedang berkembang. Selain itu, juga berpendapat bahwa pendekatan parsial ini mempunyai dampak terhadap pembaruan berikutnya. Dalam hal ini Albert Waterston mengatakan: ”. . .dengan memulai usaha pembaruan administrasi yang komprehensif, negara-negara berpendapatan rendah, seperti India, Pakistan, Iran, dan Filipina di Asia; Venezuela, Colombia, Equador, Brazilia, Argentina, dan Chili di Amerika Latin; Ethiopia, Ghana, dan Libya di Afrika; selama bertahun-tahun telah berusaha meningkatkan efisiensi pelayanan umum, namun memperoleh hasil kurang memadai semata karena mereka menerapkan pendekatan makro. Usulan global yang kelihatannya baik dan menarik, berakhir tragis setelah diimplementasikan”. Sebaliknya mereka yang setuju dengan pendekatan makro berpendapat bahwa kompleksitas dan ketergantungan faktor – faktor administratif memaksa diperlukannya pembaruan yang menyeluruh. Program yang bersifat menyeluruh ini harus dibuat untuk menanggulangi perkembangan yang terjadi dalam keseluruhan tubuh administrasi, serta memberi prinsip dan kerangka umum bagi pendekatan parsial atau piece-meal. Mereka juga mengatakan bahwa pendekatan parsial dapat mengakibatkan inkonsistensi, kontradiksi, dan konflik dalam system administrasi. Karenanya, maka para penganjur pembaruan administrasi menekankan perlunya gebrakan (break-through) yang hanya dapat dicapai melalui pendekatan makro. Pandangan ini antara lain diungkapkan Mukardji , ketika ia mengatakan: ”Pendekatan mikro cenderung tidak produktif, paling tidak untuk jangka pendek, karena hasil yang mengecewakan dapat menurunkan atau mengurangi jumlah pendukung. Kasus di India menunjukkan kebenaran pendapat ini, karena hanya pendekatan yang komprehensiflah yang memungkinkan dilakukannya gebrakan (break-through)”. Masing – masing pendekatan memiliki unsur kebenaran, bahwa para penganjur pendekatan mikro/parsial mengakui bahwa dalam kondisi sosial-ekonomi yang tepat pendekatan komprehensif terbukti lebih layak. Namun di lain pihak, pendekatan mikro dapat menjadi dasar perubahan di masa mendatang. Tetapi harus diingat jika melakukan penyempurnaan terhadap satu satuan organisasi, maka harus disadari bahwa tidak ada satu organisasi yang mampu berdiri sendiri dan berperan di dalam proses pembangunan daerah maupun nasional, karena berkaitan dengan organisasi, baik sebagai penghambat atau pun pendorong bagi reformasi administrasi. Sebaliknya penganjur pembaruan yang komprehensif harus menyadari bahwa semua rencana yang menyeluruh pasti terdiri dari ‘individual’ dan satuan dasar administrasi negara adalah ‘individual’.
Pendekatan Struktural vs Perilaku, Kelemahan utama pendekatan struktural adalah sifatnya yang statis dan kefanatikannya terhadap dogma status. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan, sebagian para ahli perilaku cenderung juga statis, karena sebagian dari mereka beranggapan bahwa ciri-ciri umum perilaku organisasi sulit dioperasionalisasikan. Pro dan kontra terhadap kegunaan pendekatan struktural dan perilaku masih beragam, meskipun tampaknya pendekatan struktural agak memperoleh pengakuan. Menurut Braibanti, bahwa ‘perubahan kelembagaan lebih efektif jika dibandingkan dengan manipulasi perilaku, yang berarti ada kecenderungan para strukturalis lebih memperhatikan aspek perilaku dalam administrasi pembangunan. Sedangkan kelemahan utama kaum behavioralis menurut Lucian Pye adalah kurangnya perhatian terhadap aspek struktural dalam pembaruan karena adanya kesulitan dalam menjelaskan persoalan tentang bagaimana individu harus menyesuaikan perilakunya ketika ia menyatu atau bertindak dalam suatu lembaga yang sudah mapan dan persoalan mengubah suatu lembaga dengan segera. Ketidakefektifan pendekatan behavioral dalam pembaruan administrasi sebagian besar bersumber dari besarnya organisasi pemerintahan dan besarnya problema penyempurnaan administrasi yang ada. Pendekatan perilaku cenderung memfokuskan perhatiannya pada individu dan kelompok kecil (small group), dan karenanya biasanya kurang memfokuskan pada organisasi secara keseluruhan. Atas dasar itulah, maka pendekatan perilaku sering diberi predikat mikro.
Dalam banyak hal memang pendekatan makro sering diperlukan, khususnya di negara sedang berkembang. Namun, sebagaimana diketahui bahwa perangkat administrasi, baik yang lunak maupun yang keras di negara sedang berkembang, masih kurang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Para strukturalis pada umumnya mau menerima pendekatan mikro hanya dalam hal-hal tertentu saja. Mereka selalu melihat organisasi secara keseluruhan, kaitannya dengan organisasi lain, baik organisasi induk, sesama organisasi maupun organisasi di bawahnya. Para strukturalis juga menyadari akan keterbatasannya, sehingga mereka memperhatikan pula dimensi perilaku. Mereka sadar bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pendekatan ini bersifat sangat terbatas apabila tidak dibarengi dengan usaha-usaha mempengaruhi perilaku anggota dan atau kelompok yang ada di dalam organisasi pemerintah.
Selanjutnya diakui pula, pendekatan ini bahwa organisasi pemerintah, pelaksanaan pemerintahan, dan perubahan yang terjadi dalam tubuh pemerintah, tak bisa lepas dari pengaruh lingkungan yang berada di sekitarnya. Fokus analisis strategi reformasi administrasi sangat beragam, tergantung ruang lingkupnya. Fokus strategi yang komprehensif adalah pada keseluruhan perangkat administrasi pemerintah daerah, bukan pada satu instansi khusus maupun pada satu prosedur tertentu. Perubahan atau inovasi yang dilakukan pada seluruh jajaran birokrasi pemerintah, bukan per bagian saja. Karenanya harus didasarkan pada pertimbangan yang masak dengan memperhatikan faktor waktu, personel, dan keuangan. Konsekuensinya, reformasi administrasi komfrehensif hanya dilakukan secara berkala saja. Menurut Zauhar (1994:84), pendekatan ini kurang cocok untuk kebanyakan negara berkembang yang masih kekurangan sumber daya, terutama manusia. Oleh karena itu, pendekatan mikro tampaknya sebagai pendekatan yang lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang, yang menerapkan pendekatan piece-meal or island approach, dalam skala ukuran yang spesifik dengan dua alasan utama, yaitu:Pertama, pendekatan inkremental meruapakan pendekatan yang gradual dan memungkinkan dilakukan eksprimen, sehingga masih dimungkinkan dilakukan revisi apabila rencana yang diusulkan belum memuaskan secara keseluruhan; Kedua, ketika reformasi dimulai, karena ruang lingkupnya yang sangat terbatas, sedikit sekali campur tangan dari pihak luar. Kelemahan pendekatan inkremental/mikro ini, tak akan dapat hidup lebih lama apabila tidak mendapat dukungan dari para pemimpin politik di daerah. Tidak seperti halnya dengan pendekatan komprehensif yang sesuai dengan selera pemimpin politik, pendekatan mikro biasanya kurang mendapat dukungan dari pemimpin politik karena terbatasnya tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, antara pendekatan komprehensif dan inkremental perlu tidak perlu dikontradiktifkan, bahkan keduanya harus saling melengkapi. Lee melukiskan keterkaitan antara kedua pendekatan ini sebagai dialectical continuum of reform strategy.
Dengan memperhatikan pendekatan mikro dan makro yang ada dalam reformasi administrasi, kuat dan lemahnya kepemimpinan politik, serta tepat tidaknya waktu pembaruan, Lee membuat matrix of optimum reform strategy, yang terdiri dari dua dimensi, yaitu: (1) kepemimpinan (kuat dan lemah); dan (2) waktu (tepat dan tidak tepat). Kotak pertama, dalam situasi apabila kepemimpinan kuat (cakap) dan waktu menguntungkan, maka strategi pendekatan yang lebih cocok adalah komprehensif. Kotak kedua, dimana waktu menguntungkan/tepat dan kepemimpinan lemah (tidak cakap), maka diperlukan strategi pendekatan mikro. Prakarsa melakukan reformasi biasanya berasal dari pimpinan nasional, maka usaha yang perlu dilakukan secara khusus adalah pengembangan kelompok pemimpin yang potensial, sehingga pada saatnya nanti mereka akan tampil. Sedangkan kotak ketiga , dalam situasi dimana waktu tidak menguntungkan, namun kepemimpinan cakap, maka diperlukan strategi pendekatan mikro. Biasanya usaha pembaruan berasal dari tubuh birokrasi sendiri.
Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah sikap hati-hati dalam melakukan reformasi, sebab reformasi yang diintroduksi akan banyak mengalami penolakan karena situasi sosial politik yang tidak menguntungkan. Kotak keempat, dalam situasi dimana waktu tidak menguntungkan dan kepemimpinan tidak cakap, maka tidak ada strategi alternatif atau dapat dilakukan pendekatan percobaan yang berskala kecil, yang bertujuan untuk melakukan identifikasi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan demikian, keberhasilan reformasi administrasi dalam usaha membangun daya saing daerah sangat tergantung pada, antara lain: (1) Dukungan dan komitmen dari pemimpin politik; (2) Adanya agen (inti) pembaru; (3) Adanya lingkungan sosial ekonomi dan politis yang kondusif; (4) Waktu yang tepat. Strategi yang berkenaan dengan sifat dan ruang lingkup pembaruan administratif haruslah dirancang melalui kerja sama yang harmonis antara pemimpin politik dan para pembaru, dimana mereka berdua harus memperhatikan faktor lingkungan yang ada. Sifat dan ruang lingkup reformasi administrasi juga tergantung pada tersedianya sumber daya, baik dana maupun tenaga (SDM). Karena pada umumnya daerah berkembang kekurangan dana maupun tenaga sehingga akan mengalami banyak kesulitan jika menerapkan pendekatan makro atau komprehensif. Dengan demikian, maka pendekatan mikro atau incremental akan lebih cocok bagi daerah – daerah di Indoensia. Dasar pemikirannya disini adalah bahwa setiap keputusan utama sebenarnya mencakup ‘perubahan inkremental’ untuk menanggulangi ‘penyakit khusus’. Strategi inkremental cocok dengan definisi reformasi administrasi sebagai suatu proses. Sebagai suatu proses reformasi administrasi selalu merupakan ‘langkah tunggal’, tetapi langkah tunggal yang dipandang dalam kaitannya dengan langkah tunggal yang lain, sehingga membentuk suatu jaringan ‘cincin langkah berikutnya’ yang akhirnya terbentuk suatu inovasi dan pembaruan administrasi yang besar.
Tetapi harus menyadari akan keterbatasan pendekatan inkremental. Karena sekecil apapun suatu usaha pembaruan, suatu saat pasti sampai pada ambang pintu politik, yang pasti memerlukan pendukung politik yang cukup besar. Keadaan semacam ini secara alami sangat sulit bagi suatu ‘proyek kecil’ seperti yang dianjurkan pendekatan inkremental. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah memilih proyek mikro yang jadi prioritas utama dan memiliki efek ganda dalam rencana pembangunan daerah. Argumen di atas menyarankan adanya suatu kontinum dialektis dalam strategi reformasi administrasi. Implikasi dari argumentasi itu bahwa strategi inkremental harus tumbuh lebih luas, sedangkan strategi komprehensif harus dikonsentrasikan pada hal-hal yang bersifat sementara (ad hoc) didalam implementasinya. Debat ini menghasilkan matriks strategi yang disederhanakan seperti yang dikemukakan Lee. Tetapi harus diingat bahwa tujuan matriks dari Lee tersebut hanyalah bersifat heuristic (keperluan ilmiah). Para pemimpin politik dan badan – badan yang ada hubungan dengan pembaruan, harus memperhitungkan faktor lingkungan. Keputusan merekalah yang akan menentukan strategi apa yang akan dipakai dalam situasi tertentu. Tujuan reformasi administrasi tiada lain adalah menyempurnakan kinerja (performance) dari birokrasi, baik dalam formulasi maupun implementasi rencana sektor tertentu dalam masyarakat. Proses pembaruan pada dasarnya juga merupakan redistribusi kekuasaan (power) didalam birokrasi. Mengapa pembaruan sulit dilakukan, dapat dijelaskan dengan mengacu pada adanya perubahan kebijaksanaan dan perubahan alokasi sumber daya yang dibutuhkan. Misalnya budget regional. Dilihat dari sudut politik, budget regional tidak lebih dari sekedar distribusi sumber daya keuangan dari suatu daerah, dan perubahannya dibuat sekali setahun.
Ada dua pokok yang membedakan pembaruan administrasi dengan perubahan anggaran, yakni: (1) Dalam perubahan anggaran terdapat proses institusionalisasi, yaitu proses mengubah anggaran, setelah anggaran berlangsung beberapa bulan, sedangkan didalam pembaruan administrasi tidak terdapat institusionalisasi. (2) Sebagian besar anggaran bersifat historis dan karenanya hanya mewakili perubahan inkremental. Tidak seperti halnya dengan perubahan kebijaksanaan ekonomi, reformasi administrasi mencakup perubahan yang menyusup ke seluruh jaringan birokrasi. Sebab birokrasi daerah dianggap sebagai satu kesatuan, sebagai PNS yang terintegrasi. Kebijaksanaan terpisah badan yang berbeda, tampaknya tidak dapat dipertahankan. Keadaan semacam inilah yang mengusik benak para teknokrat ekonom dalam pemerintahan, mengapa mereka gampang dipengaruhi. Kebijaksanaan ekonomi umumnya mempunyai ciri tersendiri (discrete), artinya berlaku khusus untuk satu sector atau sektor yang lain dalam ekonomi dan seringkali hanya mencakup satu bagian atau satu badan saja.
Jika asumsi ini dipakai dasar pembaruan, maka reformasi administrasi akan menjadi lebih elusif (kabur) sebagai variabel kultural. Akhirnya, kesulitan yang akan dihadapi dalam proses reformasi administrasi bahwa proses ini langsung mempengaruhi mereka yang melaksanakan kebijaksanaan, namun manfaatnya tidak dapat segera dinikmati. Hal ini tidak seperti kebijaksanaan pertanian, atau kebijaksanaan kesehatan yang langsung kentara manfaatnya (manfaatnya segera dapat dinikmati). Ringkasnya, pembaruan administrasi tidak menambah yang sudah ada, tetapi hanya merelokasikan sumber daya yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Piter, dkk. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indoensia, Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta.
Bartlett, C. And S. Goshal. 1987. Managing Across Borders: New Strategic Requirements, Sloan Management Review, Summer.
Caiden, G. E. 1968. Prospects for Administrative Reform in Israel, Public Administration.
Dror, Y. 1971. Strategies for Administrative Reform, Development and Change, The Hague, Netherland.
Lee, Hahn Been. 1971. Bureaucratic Model and Administrative Reform, Development and Change, The Hague, Netherland.
Zauhar, Soesilo. 2002. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi, dan Strategi, Cetakan Kedua, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
TEORI KETERGANTUNGAN (DEPENDENCY)
TEORI KETERGANTUNGAN (DEPENDENCY)
Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara – negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara – negara lain, di mana negara – negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Negara – negara pinggiran yang pra-kapitalis merupakan Negara – negara yang tidak dinamis, yang memakai cara produksi Asia yang berlainan dengan cara produksi feodal Eropa yang menghasilkan kapitalisme. Negara – negara pinggiran ini, setelah disentuh oleh kapitalis maju, akan bangun dan berkembang mengikuti jejak Negara – negara kapitalis maju. Namun terdapat kritikan mengenai teori tersebut, bahwa negara-negara pinggiran yang pra-kapitalis mempunyai dinamika sendiri yang bila disentuh oleh Negara – negara kapitalis maju, akan berkembang secara mandiri. Justru karena Negara – negara kapitalis maju ini perkembangan Negara – negara pinggiran menjadi terhambat.
Dos Santos menguraikan 3 bentuk ketergantungan:
1. Ketergantungan Kolonial
Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran. Kegiatan ekonominya adalah ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara pusat. Hubungan penjajah – penduduk sekitar bersifat eksploitatif.
2. Ketergantungan Finansial-Industrial:
Negara pinggiran merdeka tetapi kekuatan finansialnya masih dikuasai oleh negara-negara pusat. Ekspor masih berupa barang – barang yang dibutuhkan negara pusat. Negara pusat menanamkan modalnya baik langsung maupun melalui kerjasama dengan pengusaha lokal.
3. Ketergantungan Teknologis-Industrial:
Bentuk ketergantungan baru. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk negara pusat. Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.
Meskipun demikian teknologi dan patennya masih dikuasai oleh negara pusat. Dos Santos membahas juga struktur produksi dari sebuah proses industrialis, bahwa:
1. Upah yang dibayarkan kepada buruh rendah sehingga daya beli buruh rendah.
2. Teknologi padat modal memunculkan industri modern, sehingga: Menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada. Menciptakan lapangan kerja baru yang jumlahnya lebih sedikit. Larinya keuntungan ke luar negeri membuat ketiadaan modal untuk membentuk industri nasional sendiri. Oleh sebab itu, kapitalisme bukan kunci pemecahan masalah melainkan penyebab munculnya masalah ini.
Henrique Cardoso dengan gagasannya “Associated-Dependent Development” menyatakan bahwa produksi dapat dilakukan di Negara – negara pinggiran karena adanya perlindungan sistem paten. Selain itu kebijakan proteksi dan bea masuk mendorong perusahaan multinasional untuk membangun perusahaan di negara pinggiran. Meskipun demikian, industrialisasi di negara pusat dan pinggiran tetap berbeda. Sifat – sifat industrialisasi di negara pinggiran adalah sebagai berikut:
• Ketimpangan pendapatan yang makin besar.
• Menekankan pada produksi barang – barang konsumsi mewah dan bukan barang – barang yang dibutuhkan rakyat.
• Mengakibatkan utang yang semakin tinggi jumlahnya dan menghasilkan kemiskinan.
• Kurang terserapnya tenaga kerja.
Peter Evans dengan gagasannya “Dependent Development” menyatakan bahwa produksi sudah diserahkan ke negara pinggiran karena adanya kemajuan teknologi dan menguatnya rasa nasionalisme negara pinggiran. Dalam dependent development terjadi pembangunan industrialisasi di negara pinggiran dengan kerjasama borjuis lokal, muncul perusahaan multinasional raksasa, otak perusahaan tersebut berada di negara pusat dan cabang – cabang yg ada di negara pinggiran hanya boleh mengambil keputusan operasional di cabang tersebut.
Kerjasama antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerjasama ekonomi sehingga mendorong terjadinya proses industrialisasi. Sedangkan kerjasama antara pemerintah dengan borjuis local bersifat politis untuk mendapatkan legitimasi politik, kaitannya dengan nasionalisme negara tersebut. Nasionalisme yg ada di negara pinggiran tidak dimaksudkan untuk membuat negara tersebut menjadi mandiri tetapi sebagai alat untuk memeras perusahaan multinasional tersebut.
Robert A. Packenham (1974), mengajukan kritik atas teori ketergantungan dengan menyebutkan kekuatan teori ketergantungan dan kelemahan teori ketergantungan.
Menurut Packenham, kekuatan teori ketergantungan antara lain:
• Menekankan pada aspek internasional.
• Mempersoalkan akibat dari politik luar negeri (industri terhadap pinggiran).
• Mengkaitkan perubahan internal negara pinggiran dengan politik luar negeri negara maju.
• Mengaitkan antara analisis ekonomi dengan analisis politik.
• Membahas antarkelas dalam negeri dan hubungan kelas antarnegara dalam konteks internasional.
• Memberikan definisi yang berbeda tentang pembangunan ekonomi (tentang kelas – kelas sosial, antardaerah dan antarnegara).
Sedangkan kelemahan teori dependensi antara lain:
• Hanya menyalahkan kapitalisme.
• Konsep kunci yang kurang jelas termasuk istilah “ketergantungan”.
• Ketergantungan dianggap sebagai konsep yang dikotomis.
• Tidak ada kemungkinan lepas dari ketergantungan.
• Ketergantungan dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
• Ketergantungan tidak melihat aspek psikologis.
• Ketergantungan menyepelekan konsep nasionalisme.
• Teori Ketergantungan sangat normatif dan subyektif.
• Hubungan antarnegara dalam teori ketergantungan bersifat zero-sum game (kalau yang satu untung, yang lain rugi), padahal kenyataannya tidak ada hubungan yang bersifat seperti itu.
• Karena konsepnya tidak jelas maka tidak dapat diuji kebenarannya, sehingga teori ini menjadi tautologies (selalu benar).
• Menganggap aktor politik sebagai boneka dari kepentingan modal asing.
• Kajian yang kurang rinci dan tajam akibatnya teori ini kurang dapat dipergunakan untuk menganalisis dengan tajam.
Teori ketergantungan dari John A Hobson. menjelaskan imperialisme dan kolonialisme melalui motivasi keuntungan ekonomi. Teori ini merupakan kelompok teori Gold, yang menjelaskan, bahwa terjadinya imperialisme karena adanya dorongan untuk mencari pasar dan investasi yang lebih menguntungkan. Ketika pasar dalam negeri telah jenuh atau pasar dalam negeri terbatas, maka mereka mencari pasar baru di Negara – negara lain. Menurut Vladimir Ilich Lenin, imperialisme merupakan puncak kapitalisme. Kapitalisme yang semula berkembang dari kompetisi pasar bebas, mematikan perusahaan – perusahaan lain dan memunculkan kapitalisme yang menguasai pasar. Walaupun bentuknya pada jaman sekarang ini tidak menggunakan armada militer, namun dampaknya tetap saja merugikan negara yang menjadi objek penanaman investasi mereka.
Teori ketergantungan pada dasarnya menyetujui, bahwa yang menjadi penyebab ketergantungan adalah kekurangan modal dan kurangnya tenaga ahli. Tetapi faktor penyebabnya adalah proses imperialisme dan neo imperialisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara pinggiran ke negara pusat. Akibat pengalihan surplus ini, negara pinggiran kehilangan surplus utama yang dibutuhkan untuk membangun negerinya. Maka, pembangunan dan keterbelakangan merupakan dua aspek dari sebuah proses global yang sama. Proses global ini merupakan proses kapitalisme dunia. Di kawasan yang satu, proses itu melahirkan pembangunan, di kawasan yang lain, menyebabkan lahirnya keterbelakangan.
Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara intensif mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidakpuasan terhadap asumsi – asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi keras dari para pemerhati masalah – masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah Negara – negara dunia ke-tiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrim dikatakan bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan dari Negara – negara lainnya (the development of underdevelopment); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?. Andre Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori Dependensi ini mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari kontak yang diadakan oleh Negara – negara berkembang dengan Negara – negara maju.
Asumsi dasar dari teori Dependensi mencakup: (1) Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga; (2) Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’; (3) Permasalah ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke negara maju; (4) Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global; dan (5) Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan.
Teori Dependensi ini bukannya tanpa kekurangan, bahkan kritik yang dilomtarkan mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi (Suwarsono-So, 1991: 137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori Dependensi adalah kurangnya pembahasan tentang kolonialisme yang pernah tumbuh subur dikebanyakan negara-negara berkembang. Menurut perspeksif Dependensi, pemerintahan kolonial didirikan dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk dengan tujuan untuk membangun negara pinggiran.
Dua orang pemerhati masalah pembangunan di Indonesia, Sritua Arief da Adi Sasono (1984) berusaha melihat masalah pembangunan ini dari sisi yang berbeda dengan apa yang dikembangkan Koentjaraningrat sebelumnya; mereka menggunakan teori Dependensi untuk menjelaskan persoalan pembangunan politikonomi Indonesia. Kajiannya dimulai dengan menguji kembali warisan kolonial Belanda yang ditinggalkan; seperti kebanyakan analisa sejarah yang lain tentang Indonesia, rentang weaktu kajian dimulai sejak diberlakukannya sistem tanam paksa. Bagi mereka, pelaksanaan tanam paksa dijadikan sebagai ‘pangkal tolak untuk melihat banguan struktural yang diwarisi Indonesia pada waktu negara ini merdeka’ (Suwarsono-So, 1991: 131).
Arief dan Sasono berpendapat bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang bertanggung jawab terhadap berkembang suburnya keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia; selama masa tanam paksa tersebut telah terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah yang sangat besar. Disamping itu tanam paksa juga telah menjadikan semakin kecilnya jumlah petani yang berkecukupan, yang dengan kata lain telah membantu memperbanyak kaum ‘proletariat desa’. Dalam proses tanam paksa itu ternyata, fihak kolonial tidak ‘bekerja sendirian’, disini ada keterlibatan pemerintah lokal dalam membantu ‘keberhasilan’ sistem tanam paksa. ‘Dalam proses eksploitasi ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda di Indonesia …. Dan pihak – pihak penguasa feodal di Indonesia….’; pertalian kerja sama yang demikian tidak sulit untuk terjadi, keadaan mana membuat kaum aristokrat dan kaum feodal Indonesia memperoleh keuntungan ekonomis’ sekalipun jika dicermati, amat jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan yang diterima oleh pemerintahan kolonial.
Dalam kajian kurun waktu yang berbeda Arief dan Sasono mencoba menguji proses pembangunan Indonesia setelah era kemerdekaan, khususnya pada masa pembangunan ekonomi pemerintahan orde baru; obyek kajiannya menggunakan lima tolok ukur, yang akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan sebagian besar telah atau sedang mewujud di Indonesia. Lima tolok ukur yang digunakan yaitu:
pertama, pertumbuhan ekonomi, pada masa ini ditandai dengan semakin lebarnya perbedaan antara kelompok yang mampu dan kelompok yang tidak mampu dengan ciri golongan miskin ternyata menjadi semakin miskin; keadaan ini bisa terjadi karena hancurnya industri kecil di perdesaan diserta dengan berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian dengan tidak diimbangi oleh timbulnya peluang kerja di sektor industri di perkotaan;
kedua, penyerapan tenaga kerja, Industri yang dikembangkan dengan semangat teknologi padat modal ternyata ‘tidak banyak menyerap tenaga kerja’, sementara sektor pertanian yang telah mengalami derasnya proses mekanisasi tidak lagi mampu menampung tenaga kerja sebesar yang pernah dimiliki pada masa sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain yang tersedia, kecuali tterjun dalam pasar tenaga kerja sektor jasa;
ketiga, proses industrialisasi, proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses industri subtitusi impor yang dikembangkan memiliki sifat ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi, dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukan merupakan pertumbuhan ekonomi yang bersentrum kedalam negeri, dan tidak berdasar pada dinamika yang ada;
keempat, pembiayaan pembangunan, karena sifat pertumbuhan ekonomi yang dimiliki dan model industrialisasi yang dipilih, mau tidak mau, hanya memiliki satu pilihan yaitu kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing, fenomena yang jelas menggambarkan suatu ketergantungan kepada fihak lain;
kelima, persediaan bahan makanan, bahwa sampai akhir tahun 1970 ternyata bangsa Indonesia belum memiliki kemampuan swasembada pangan, sehingga tidk mengherankan bila banyak dijumpai kebijaksanaan yang mengarah pada pencapaian tujuan ini.
Satu hal yang menarik dalam kajian dari masalah – masalah sosial adalah terbukanya kemungkinan berbagai disiplin ilmu yang ternaung dalam rumpun ilmu – ilmu sosial untuk melakukan kajian terhadap satu persoalan yang sama menurut kerangka pendekatan masing – masing obyek perhatiannya. Terjadinya dinamika dalam masyarakat membuka dan mendorong masing-masing disiplin ilmu untuk mendinamisir teori – teori yang telah dikembangkannya, fenomena ini sebenarnya secara tidak lengsung sebagai tanggapan dari pandangan Thomas Khun (1966) tentang paradigma ilmu pengetahuan dalam “The Structure Of Scientific Revolution”. Banyaknya pendekatan terhadap satu masalah yang selama ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi perkembangan ilmu sosial secara umum karena : (a) masalah itu dapat ditempatkan dan diterangkan secara proporsional dan obyektif; (b) setiap bidang ilmu saling berkontribusi dan melengkapi kekurangannya masing – masing; (c) teori-teori yang berkembang dalam ilmu sosial menjadi semakin kokoh.
Bangsa Indonesia tidak bisa luput dari fenomena pembangunan, cepat atau lambat, besar atau kecil, mudah atau sukar, proses pembangunan ini perlu untuk dilakukan. Berbagai cara untuk mencapainya diupayakan, yaitu dengan pemanfaatan secara optimal segala aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada, sehingga mempunyai peran penting dalam lingkup lokal maupun global; sedemikian jauh jarak antara perbedaan tingkat kehidupan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara maju lainnya, sehingga ‘harus’ dilakukan semacam ‘percepatan’ perubahan. Bahkan Alisyahbana menekankan secara tegas, bahwa perubahan masyarakat Indonesia itu harus mengacu pada nilai – nilai intelektualisme, individuliasme, egoisme, dan materialisme seperti yang hidup pada masyarakat Barat, nilai – nilai mana yang dianggap ekstrim atau bahkan tabu oleh sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Analisa tentang proses pembangunan itu tidak semudah pengerjaan di belakang meja dan menurut alur logika saja, karena proses ini mengandung berbagai nilai – nilai dan perkembangan yang sulit untuk diperhitungkan; fenomena mana yang menjadikan kajian tentang masalah – masalah sosial tidak kering dan mati.
Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara – negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara – negara lain, di mana negara – negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Negara – negara pinggiran yang pra-kapitalis merupakan Negara – negara yang tidak dinamis, yang memakai cara produksi Asia yang berlainan dengan cara produksi feodal Eropa yang menghasilkan kapitalisme. Negara – negara pinggiran ini, setelah disentuh oleh kapitalis maju, akan bangun dan berkembang mengikuti jejak Negara – negara kapitalis maju. Namun terdapat kritikan mengenai teori tersebut, bahwa negara-negara pinggiran yang pra-kapitalis mempunyai dinamika sendiri yang bila disentuh oleh Negara – negara kapitalis maju, akan berkembang secara mandiri. Justru karena Negara – negara kapitalis maju ini perkembangan Negara – negara pinggiran menjadi terhambat.
Dos Santos menguraikan 3 bentuk ketergantungan:
1. Ketergantungan Kolonial
Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran. Kegiatan ekonominya adalah ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara pusat. Hubungan penjajah – penduduk sekitar bersifat eksploitatif.
2. Ketergantungan Finansial-Industrial:
Negara pinggiran merdeka tetapi kekuatan finansialnya masih dikuasai oleh negara-negara pusat. Ekspor masih berupa barang – barang yang dibutuhkan negara pusat. Negara pusat menanamkan modalnya baik langsung maupun melalui kerjasama dengan pengusaha lokal.
3. Ketergantungan Teknologis-Industrial:
Bentuk ketergantungan baru. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk negara pusat. Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.
Meskipun demikian teknologi dan patennya masih dikuasai oleh negara pusat. Dos Santos membahas juga struktur produksi dari sebuah proses industrialis, bahwa:
1. Upah yang dibayarkan kepada buruh rendah sehingga daya beli buruh rendah.
2. Teknologi padat modal memunculkan industri modern, sehingga: Menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada. Menciptakan lapangan kerja baru yang jumlahnya lebih sedikit. Larinya keuntungan ke luar negeri membuat ketiadaan modal untuk membentuk industri nasional sendiri. Oleh sebab itu, kapitalisme bukan kunci pemecahan masalah melainkan penyebab munculnya masalah ini.
Henrique Cardoso dengan gagasannya “Associated-Dependent Development” menyatakan bahwa produksi dapat dilakukan di Negara – negara pinggiran karena adanya perlindungan sistem paten. Selain itu kebijakan proteksi dan bea masuk mendorong perusahaan multinasional untuk membangun perusahaan di negara pinggiran. Meskipun demikian, industrialisasi di negara pusat dan pinggiran tetap berbeda. Sifat – sifat industrialisasi di negara pinggiran adalah sebagai berikut:
• Ketimpangan pendapatan yang makin besar.
• Menekankan pada produksi barang – barang konsumsi mewah dan bukan barang – barang yang dibutuhkan rakyat.
• Mengakibatkan utang yang semakin tinggi jumlahnya dan menghasilkan kemiskinan.
• Kurang terserapnya tenaga kerja.
Peter Evans dengan gagasannya “Dependent Development” menyatakan bahwa produksi sudah diserahkan ke negara pinggiran karena adanya kemajuan teknologi dan menguatnya rasa nasionalisme negara pinggiran. Dalam dependent development terjadi pembangunan industrialisasi di negara pinggiran dengan kerjasama borjuis lokal, muncul perusahaan multinasional raksasa, otak perusahaan tersebut berada di negara pusat dan cabang – cabang yg ada di negara pinggiran hanya boleh mengambil keputusan operasional di cabang tersebut.
Kerjasama antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerjasama ekonomi sehingga mendorong terjadinya proses industrialisasi. Sedangkan kerjasama antara pemerintah dengan borjuis local bersifat politis untuk mendapatkan legitimasi politik, kaitannya dengan nasionalisme negara tersebut. Nasionalisme yg ada di negara pinggiran tidak dimaksudkan untuk membuat negara tersebut menjadi mandiri tetapi sebagai alat untuk memeras perusahaan multinasional tersebut.
Robert A. Packenham (1974), mengajukan kritik atas teori ketergantungan dengan menyebutkan kekuatan teori ketergantungan dan kelemahan teori ketergantungan.
Menurut Packenham, kekuatan teori ketergantungan antara lain:
• Menekankan pada aspek internasional.
• Mempersoalkan akibat dari politik luar negeri (industri terhadap pinggiran).
• Mengkaitkan perubahan internal negara pinggiran dengan politik luar negeri negara maju.
• Mengaitkan antara analisis ekonomi dengan analisis politik.
• Membahas antarkelas dalam negeri dan hubungan kelas antarnegara dalam konteks internasional.
• Memberikan definisi yang berbeda tentang pembangunan ekonomi (tentang kelas – kelas sosial, antardaerah dan antarnegara).
Sedangkan kelemahan teori dependensi antara lain:
• Hanya menyalahkan kapitalisme.
• Konsep kunci yang kurang jelas termasuk istilah “ketergantungan”.
• Ketergantungan dianggap sebagai konsep yang dikotomis.
• Tidak ada kemungkinan lepas dari ketergantungan.
• Ketergantungan dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
• Ketergantungan tidak melihat aspek psikologis.
• Ketergantungan menyepelekan konsep nasionalisme.
• Teori Ketergantungan sangat normatif dan subyektif.
• Hubungan antarnegara dalam teori ketergantungan bersifat zero-sum game (kalau yang satu untung, yang lain rugi), padahal kenyataannya tidak ada hubungan yang bersifat seperti itu.
• Karena konsepnya tidak jelas maka tidak dapat diuji kebenarannya, sehingga teori ini menjadi tautologies (selalu benar).
• Menganggap aktor politik sebagai boneka dari kepentingan modal asing.
• Kajian yang kurang rinci dan tajam akibatnya teori ini kurang dapat dipergunakan untuk menganalisis dengan tajam.
Teori ketergantungan dari John A Hobson. menjelaskan imperialisme dan kolonialisme melalui motivasi keuntungan ekonomi. Teori ini merupakan kelompok teori Gold, yang menjelaskan, bahwa terjadinya imperialisme karena adanya dorongan untuk mencari pasar dan investasi yang lebih menguntungkan. Ketika pasar dalam negeri telah jenuh atau pasar dalam negeri terbatas, maka mereka mencari pasar baru di Negara – negara lain. Menurut Vladimir Ilich Lenin, imperialisme merupakan puncak kapitalisme. Kapitalisme yang semula berkembang dari kompetisi pasar bebas, mematikan perusahaan – perusahaan lain dan memunculkan kapitalisme yang menguasai pasar. Walaupun bentuknya pada jaman sekarang ini tidak menggunakan armada militer, namun dampaknya tetap saja merugikan negara yang menjadi objek penanaman investasi mereka.
Teori ketergantungan pada dasarnya menyetujui, bahwa yang menjadi penyebab ketergantungan adalah kekurangan modal dan kurangnya tenaga ahli. Tetapi faktor penyebabnya adalah proses imperialisme dan neo imperialisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara pinggiran ke negara pusat. Akibat pengalihan surplus ini, negara pinggiran kehilangan surplus utama yang dibutuhkan untuk membangun negerinya. Maka, pembangunan dan keterbelakangan merupakan dua aspek dari sebuah proses global yang sama. Proses global ini merupakan proses kapitalisme dunia. Di kawasan yang satu, proses itu melahirkan pembangunan, di kawasan yang lain, menyebabkan lahirnya keterbelakangan.
Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara intensif mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidakpuasan terhadap asumsi – asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi keras dari para pemerhati masalah – masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah Negara – negara dunia ke-tiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrim dikatakan bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan dari Negara – negara lainnya (the development of underdevelopment); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?. Andre Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori Dependensi ini mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari kontak yang diadakan oleh Negara – negara berkembang dengan Negara – negara maju.
Asumsi dasar dari teori Dependensi mencakup: (1) Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga; (2) Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’; (3) Permasalah ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke negara maju; (4) Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global; dan (5) Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan.
Teori Dependensi ini bukannya tanpa kekurangan, bahkan kritik yang dilomtarkan mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi (Suwarsono-So, 1991: 137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori Dependensi adalah kurangnya pembahasan tentang kolonialisme yang pernah tumbuh subur dikebanyakan negara-negara berkembang. Menurut perspeksif Dependensi, pemerintahan kolonial didirikan dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk dengan tujuan untuk membangun negara pinggiran.
Dua orang pemerhati masalah pembangunan di Indonesia, Sritua Arief da Adi Sasono (1984) berusaha melihat masalah pembangunan ini dari sisi yang berbeda dengan apa yang dikembangkan Koentjaraningrat sebelumnya; mereka menggunakan teori Dependensi untuk menjelaskan persoalan pembangunan politikonomi Indonesia. Kajiannya dimulai dengan menguji kembali warisan kolonial Belanda yang ditinggalkan; seperti kebanyakan analisa sejarah yang lain tentang Indonesia, rentang weaktu kajian dimulai sejak diberlakukannya sistem tanam paksa. Bagi mereka, pelaksanaan tanam paksa dijadikan sebagai ‘pangkal tolak untuk melihat banguan struktural yang diwarisi Indonesia pada waktu negara ini merdeka’ (Suwarsono-So, 1991: 131).
Arief dan Sasono berpendapat bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang bertanggung jawab terhadap berkembang suburnya keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia; selama masa tanam paksa tersebut telah terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah yang sangat besar. Disamping itu tanam paksa juga telah menjadikan semakin kecilnya jumlah petani yang berkecukupan, yang dengan kata lain telah membantu memperbanyak kaum ‘proletariat desa’. Dalam proses tanam paksa itu ternyata, fihak kolonial tidak ‘bekerja sendirian’, disini ada keterlibatan pemerintah lokal dalam membantu ‘keberhasilan’ sistem tanam paksa. ‘Dalam proses eksploitasi ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda di Indonesia …. Dan pihak – pihak penguasa feodal di Indonesia….’; pertalian kerja sama yang demikian tidak sulit untuk terjadi, keadaan mana membuat kaum aristokrat dan kaum feodal Indonesia memperoleh keuntungan ekonomis’ sekalipun jika dicermati, amat jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan yang diterima oleh pemerintahan kolonial.
Dalam kajian kurun waktu yang berbeda Arief dan Sasono mencoba menguji proses pembangunan Indonesia setelah era kemerdekaan, khususnya pada masa pembangunan ekonomi pemerintahan orde baru; obyek kajiannya menggunakan lima tolok ukur, yang akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan sebagian besar telah atau sedang mewujud di Indonesia. Lima tolok ukur yang digunakan yaitu:
pertama, pertumbuhan ekonomi, pada masa ini ditandai dengan semakin lebarnya perbedaan antara kelompok yang mampu dan kelompok yang tidak mampu dengan ciri golongan miskin ternyata menjadi semakin miskin; keadaan ini bisa terjadi karena hancurnya industri kecil di perdesaan diserta dengan berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian dengan tidak diimbangi oleh timbulnya peluang kerja di sektor industri di perkotaan;
kedua, penyerapan tenaga kerja, Industri yang dikembangkan dengan semangat teknologi padat modal ternyata ‘tidak banyak menyerap tenaga kerja’, sementara sektor pertanian yang telah mengalami derasnya proses mekanisasi tidak lagi mampu menampung tenaga kerja sebesar yang pernah dimiliki pada masa sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain yang tersedia, kecuali tterjun dalam pasar tenaga kerja sektor jasa;
ketiga, proses industrialisasi, proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses industri subtitusi impor yang dikembangkan memiliki sifat ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi, dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukan merupakan pertumbuhan ekonomi yang bersentrum kedalam negeri, dan tidak berdasar pada dinamika yang ada;
keempat, pembiayaan pembangunan, karena sifat pertumbuhan ekonomi yang dimiliki dan model industrialisasi yang dipilih, mau tidak mau, hanya memiliki satu pilihan yaitu kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing, fenomena yang jelas menggambarkan suatu ketergantungan kepada fihak lain;
kelima, persediaan bahan makanan, bahwa sampai akhir tahun 1970 ternyata bangsa Indonesia belum memiliki kemampuan swasembada pangan, sehingga tidk mengherankan bila banyak dijumpai kebijaksanaan yang mengarah pada pencapaian tujuan ini.
Satu hal yang menarik dalam kajian dari masalah – masalah sosial adalah terbukanya kemungkinan berbagai disiplin ilmu yang ternaung dalam rumpun ilmu – ilmu sosial untuk melakukan kajian terhadap satu persoalan yang sama menurut kerangka pendekatan masing – masing obyek perhatiannya. Terjadinya dinamika dalam masyarakat membuka dan mendorong masing-masing disiplin ilmu untuk mendinamisir teori – teori yang telah dikembangkannya, fenomena ini sebenarnya secara tidak lengsung sebagai tanggapan dari pandangan Thomas Khun (1966) tentang paradigma ilmu pengetahuan dalam “The Structure Of Scientific Revolution”. Banyaknya pendekatan terhadap satu masalah yang selama ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi perkembangan ilmu sosial secara umum karena : (a) masalah itu dapat ditempatkan dan diterangkan secara proporsional dan obyektif; (b) setiap bidang ilmu saling berkontribusi dan melengkapi kekurangannya masing – masing; (c) teori-teori yang berkembang dalam ilmu sosial menjadi semakin kokoh.
Bangsa Indonesia tidak bisa luput dari fenomena pembangunan, cepat atau lambat, besar atau kecil, mudah atau sukar, proses pembangunan ini perlu untuk dilakukan. Berbagai cara untuk mencapainya diupayakan, yaitu dengan pemanfaatan secara optimal segala aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada, sehingga mempunyai peran penting dalam lingkup lokal maupun global; sedemikian jauh jarak antara perbedaan tingkat kehidupan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara maju lainnya, sehingga ‘harus’ dilakukan semacam ‘percepatan’ perubahan. Bahkan Alisyahbana menekankan secara tegas, bahwa perubahan masyarakat Indonesia itu harus mengacu pada nilai – nilai intelektualisme, individuliasme, egoisme, dan materialisme seperti yang hidup pada masyarakat Barat, nilai – nilai mana yang dianggap ekstrim atau bahkan tabu oleh sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Analisa tentang proses pembangunan itu tidak semudah pengerjaan di belakang meja dan menurut alur logika saja, karena proses ini mengandung berbagai nilai – nilai dan perkembangan yang sulit untuk diperhitungkan; fenomena mana yang menjadikan kajian tentang masalah – masalah sosial tidak kering dan mati.
True Love
Cinta Sejati ->
1. Tidak rela yang dicintai menderita
2. Rela berkorban apapun demi yang dicintai (dalam batas kehalalan)
3. Memenuhi segala keinginan dari yang dicintai (dalam batas kehalalan)
... 4. Tidak pernah memaksakan kehendak kepada yang dicintai
5. Berlaku sepanjang masa
1. Tidak rela yang dicintai menderita
2. Rela berkorban apapun demi yang dicintai (dalam batas kehalalan)
3. Memenuhi segala keinginan dari yang dicintai (dalam batas kehalalan)
... 4. Tidak pernah memaksakan kehendak kepada yang dicintai
5. Berlaku sepanjang masa
wanita
Kemampuan u/ memahami & mengelola emosi wanita ini merupakan kunci pertalian cinta kasih pasangan suami istri yg menjadi jembatan menuju keluarga sakinah (30:21).
“Sesungguhnya kaum wanita itu a/ saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi).
“Sesungguhnya kaum wanita itu a/ saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi).
Langganan:
Postingan (Atom)